Lakukan muhasabah diri dan mohonlah ampunan kepada Sang Khaliq pemilik alam semesta Allaah subhanahu wata’alla.
Bermohonlah maaf kepada pasangan hidup, orang tua, anak, saudara dan siapa saja yang pernah kita sakiti.
Berikanlah maaf kepada siapa saja yang pernah menyakiti kita.
Identifikasi dan buat mapping segala permasalahan pada diri pribadi Anda, keluarga, bisnis dan team Anda. Temukan sekala prioritas yang akan Anda selesaikan.
Perbaiki keilmuan agama Anda dan keilmuan bisnis secara bersamaan, karena sejatinya segala upaya yang dilakukan oleh manusia hanyalah sebatas pada area al-hall/kondisi. Sejatinya hasil akhir dari apa yang kita kerjakan sepenuhnya pemberian dari Allaah.
Dapatkan rizki yang halal dengan menjadikan al-hall/kondisi datangnya rizki/pemberian Allaah Subhanahu wata’alla hadir dalam keadaan benar/halal.
Raihlah selalu pertolongan Allaah Subhanahu wata’alla melalui jalan takwa dan berdakwah membela agama Allaah Subhanahu Wata’alla
Jadikan tujuan akhirat sebagai prioritas dalam hidup dan jadikan kehidupan dunia sebagai jalan menuju kebahagiaan sejati.
Tetap istiqamah dalam jama’ah barisan hijrah, jangan sekali-kali kita keluar dari jama’ah barisan hijrah.
Ikuti semua aturan dalam barisan jama’ah hijrah selagi tidak ada pelanggaran syareat Islam. (Amir Makhmudin – MTR Purwokerto)
Ingin mendapatkan ilmunya lebih detil? Mari bergabung dalam event-event seminar bisnis Masyarakat Tanpa Riba (MTR). Sebagai pembuka wawasan ilmu LUNAS UTANG MILIARAN, silakan baca Buku Merah MTR yang bisa Anda dapatkan di (+62) 853-3533-5319.
ALLAAH bersumpah DEMI WAKTU, namun manusia ciptaanNya lebih banyak menyia-nyiakan waktu, peluang dan kesempatan yang telah diberikanNya.
@MIslamBasri
Apakah Anda pernah mendengar atau melihat orang-orang yang merasa ada sesuatu yang kurang ketika tak bisa mengikuti sesuatu yang lagi ngetren saat ini?
Viral dan ngetren seakan menjadi kata-kata sakti yang saat ini mampu menyihir berbagai kalangan, hingga sanggup berperilaku di luar kemampuan dan kewajaran. ‘DEMI GAYA’, begitu banyak manusia akhir zaman mau dan rela menghabiskan banyak waktu, biaya serta tenaga dan pikiran.
Dan parahnya lagi, tak sedikit pula, yang rela menggali kuburan utang. Sekadar untuk memperturutkan nafsu dan keinginan agar bisa viral atau ingin dianggap sebagai orang paling trendy, dan paling mengerti cara hidup kekinian. Ngutang riba sudah dianggap biasa, asal jangan sampai dinilai orang telah ‘Mati Gaya’.
Inilah manusia dengan segala tingkah dan perilakunya yang semakin ke ujung zaman, semakin tak bisa membedakan mana yang sebenarnya kebutuhan, dan mana hanya suatu keinginan .
ALLAAH ‘Azza wa Jalla ,sang pencipta langit dan bumi beserta isinya, bersumpah DEMI WAKTU,DEMI PELUANG, DEMI KESEMPATAN.
Sementara manusia makhluk ciptaannya, lebih banyak menyia-nyiakan waktu, peluang dan kesempatan yang telah diberikanNYA.
Ya,’DEMI GAYA’, seakan menjadi sumpah abstrak dan semu , yang sering membuat manusia lupa akan tujuan akhir, manakala dirinya diizinkan hadir, memainkan dan menikmati sandiwara dunia.
Bergerak adalah memunculkan aksi untuk mendapatkan reaksi. Berubah adalah menjadi yang lain dari sebelumnya. Berubah merupakan reaksi yang dihasilkan dari aksi yang dilakukan (bergerak). Artinya tidak akan ada perubahan apapun jika tidak aksi yang dilakukan.
Apakah bergerak dan berubah selalu mengarah sesuatu yang positip? Jawabannya “TIDAK SELALU”. Karena bergerak dan berubah sangat dipengaruhi oleh “INTENTION (NIAT)” dan “BEGIN WITH THE END IN MIND (GOAL)”
Agar niat dan goal yang ingin dicapai menjadi benar, dibutuhkan panduan yang terstandar dan pasti benar. Dengan panduan yang pasti benar akan diperoleh pencapaian haqiqi. Sebuah pencapaian yang dapat memuaskan kebutuhan akal dan memuaskan kebutuhan naluri (gharizah).
Selanjutnya bagaimana cara memperoleh panduan yang tersetandar dan pasti akan kebenarannya? ILMU!
Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu menyatakan,“Ilmu adalah pemimpin amal dan amalan itu berada di belakang setelah adanya ilmu.” (Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar, hal. 15).
Sedangkan Imam Al Bukhari berkata, “Al ‘Ilmu Qoblal Qouli Wal ‘Amali (Ilmu sebelum berkata dan berbuat).” Perkataan beliau ini merupakan kesimpulan beliau atas kandungan firman Allah ta’ala : “Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu.” (QS. Muhammad [47]: 19)
Dalam firman Allaah Subhanahu wa ta’alla di atas, Allah memulai perkataanNYA dengan ”ilmuilah” lalu dilanjutkan dengan perkataan ‘mohonlah ampun’. Ilmuilah yang dimaksudkan ayat tersebut adalah perintah untuk berilmu terlebih dahulu, sedangkan ‘mohonlah ampun’ adalah bentuk amalan. Hal ini menjadi pertanda bahwa ilmu hendaklah lebih dahulu dimiliki sebelum melakukan amal perbuatan.
Pembelajaran di atas menjadi titik balik atas koreksi kesalahan kami di masa sebelum berubah menuju kepada kehidupan yang lebih mulia (hijrah). Sebelumnya kami menjalani aktivitas hidup hanya berdasarkan pengalaman pribadi, menengok pengalaman orang lain, dan sedikit bekal ilmu agama. Kami bergerak berdasarkan pemahaman ilmu yang rendah, hingga hasilnya adalah cerita kehidupan yang tidak layak ditiru oleh generasi selanjutnya.
Kami torehkan tulisan ini sebagai ungkapan penyesalan mendalam atas kebodohan kami dalam menjalani kehidupan tanpa panduan ilmu yang terstandar dan pasti benar sepanjang masa. Itulah ILMU ISLAM!
Syukur kami panjatkan kepada Allaah Subhanahu wa ta’alla yang masih memberikan kesempatan untuk menikmati hidayah taufik akan kebenaran dan kemuliaan Islam. Islam adalah ILMU KEHIDUPAN. Dan ILMU KEHIDUPAN PASTI MAMPU MEMBERIKAN SOLUSI TUNTAS atas segala permasalahan yang ada di dalam kehidupan ini.
Alhamdulillaah secara bertahap kami berupaya menerapkan ilmu kehidupan tersebut, dan hasilnya sudah kami rasakan. Bagaimana dengan Anda?
Dalam sosialisme yang akarnya adalah matrialism, mereka melihat segala sesuatu yang terjadi sebagai efek dari perubahan materi.
Hingga tak heran lahir jargon awam: “Di dalam tubuh yang sehat lahir jiwa yang kuat”.
Faktanya? Banyak orang yang fisiknya sehat dan kuat dalam sudut pandang material tapi jiwanya rapuh. Berapa banyak koruptor, kriminal dan para garong uang rakyat yang rata-rata sehat, tapi ternyata tetap jahat?
Itu membuktikan bahwa pemahaman sosialme tidak sesuai dengan kodrat manusia. Sama rata sama rasa adalah melawan kodrat.
Sosialisme mengaburkan makna evolusi, psikologi prilaku, hingga tanah, bumi, dan manusia sama-sama dilihat secara material. Kedudukan manusia hanya jadi bagian dari rantai produktivitas penunjang kehidupan saja.
Awalnya sosialisme jadi semacam harapan baru dan menjadi antitesis kapitalisme, faktanya sosialisme justru melahirkan monopoli elit baru.
Namun ternyata setali dua uang…
Kapitalis dan sosialis telah gagal memanusiakan manusia. Kapitalis memandang manusia sebagai budak produksi, sosialis memandang manusia sebagai alat produksi. Sosialisme menjadikan negara sebagai hukum, sehingga setiap perkataan elit adalah sabda. Penguasa menjadi penentu akan segala hal.
Kapitalisme datang dengan demokrasinya, seolah rakyat berhak menentukan segalanya. Keluarlah jargon: “Suara rakyat adalah suara Tuhan”. Nyatanya uanglah yang menjadi tuhan-tuhan baru atas manusia. Yang kaya yang berkuasa, dan negara hanya sebagai alat dan pelayan oligarki. Itu karena kapitalisme memang berasaskan pada manfaat bukan kodrat.
Sosialisme dan kapitalisme memandang manusia sebagai kumpulan individu, dalam konteks bernegara bukan sebagai kesatuan yang utuh. Maka mereka sama-sama menjadi sekuler, sama-sama ingin memisahkan agama dari negara.
Walhasil…
Sosialisme menuntut revolusi dengan teori chaos-nya agar masyarakat tetap berkembang, demokrasi menjadikan kegaduhan negara tak pernah berhenti, saling ingin mendominasi suara. Sebab demokrasi akan efektif jika mereka mampu menutup mulut lawan bicara.
Dalam kekalutan ideologi dan kekacauan berfikir akibat mengikuti apa yang bukan standar dari Tuhan, para intelektual dibuai dalam retorika filsuf Yunani dengan mitos dewa-dewa kuno.
Apakah Anda masih nekad meninggalkan syariat, tanpa menggali apa apa yang menjadi ketentuan Tuhan?
Kian hari, pergerakan MTR semakin meluas di Nusantara ini. Bisa diyakini, selama masih ada tabiat buruk utang dan ngeriba di kalangan masyarakat, gerakan ini tidak akan terbendung. Dan tidak bisa dipungkiri, di luar sana, banyak pihak yang ingin merongrong keberadaan MTR. Ada yang ingin memanfaatkan massanya, ada juga yang ingin memanfaatkan keberhasilan warga MTR untuk dijiplak ceritanya dan dibuatlah group semisal MTR.
Tujuannya macam-macam. Ada yang untuk jualan produk, menjaring kaki-kaki MLM. Bahkan ada yang menjual video guru-guru kita di group tersebut dengan embel-embel ketentuan, kalau ingin bergabung dengan grup itu, mesti transfer sejumlah nominal dulu.
Anehnya, banyak juga warga MTR yang terpengaruh terbawa arus ” Group bukan MTR” itu..
Aahh… sepertinya MTR dengan VMC (Visi, Misi, Core Value)-nya yang luar biasa, belum mampu mengikat hati mereka untuk menjadikan MTR sebagai payung yang berlandaskan dua wasiat besar Rasulullah S.A.W. Sepertinya mereka berfikir, VMC MTR itu “ngaco”. Sehingga, tidak perlu mengikuti rule-nya, tapi tetap bisa “memanfaatkan” komunitasnya..
Ah, ini sih warga MTR jadi-jadian…
E..tapi untuk kita-kita sendiri yang warga real MTR, apakah benar-benar juga sudah mengerti, paham, dan menjalankan rules MTR? Atau jangan-jangan belum tau nih, apa-apa saja Visi, Misi dan Core Values MTR. Kenapa ya, kita harus menjalankan rules MTR? Apa hebatnya rules tersebut?
Mungkin hal ini tidak penting bagi yang memandang MTR sebelah mata. Atau hanya menjadikan MTR sebagai ajang ikut-ikutan asalkan utang lunas. Atau yang beranggapan MTR hanya kumpulan orang-orang yang tak sanggup lagi bayar utang. Atau yang berasumsi bahwa MTR adalah asosiasi jualan seminar yang tidak perlu diseriusi. Maka tidak perlulah memahami apalagi menjalankan VMC MTR.
Namun, bagi The Real MTR Man, VMC MTR merupakan “panduan” nyata yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist Rasulullah, sebagai tuntunan dalam menjalani proses kehidupan setelah hijrah dari Riba, di mana utang merupakan gerbangnya.
Bagi mereka yang benar-benar baru mengenal ISLAM setelah hijrah melalui MTR, tentu akan merasakan betapa dahsyatnya “ruh” MTR hadir di dalam hidupnya. Bagaimana MTR, melalui VMC-nya menjalar dalam sendi-sendi kehidupan dan memperbaiki setiap sel ketaatan pada Sang Khalik.
Hal ini mungkin berbeda dengan Anda-Anda yang sudah paham ilmu agama, namun masih terjerat riba.
Atau, bagi Anda yang ilmu “sekuleritas perbankan”-nya sudah setingkat dewa, mungkin beranggapan bahwa cara MTR menyelesaikan urusan utang, apalagi yang mengandung riba adalah sesuatu yang tidak mungkin, bahkan mustahil.
Mustahil? Tidak ada yang tidak mungkin, dan tidak ada yang tidak bisa… Kalau ALLAAH sudah berkehendak “qun”, maka terjadilah..
Saya melihat, disinilah peran VMC MTR dapat kita terapkan dengan baik dan benar. Bukan untuk mencari pembelaan, apalagi pembenaran..
Lalu, bagaimana dengan Core Values_dan Budaya-Budaya MTR lainnya? Tentu saja ada polanya, tidak melulu dipakai itu-itu saja…
Saya yakin, kita sudah tidak asing lagi dengan tagline “Bersahabat Dalam Dakwah”. Kapan kita gunakan jurus ini? Saat menghadapi negosiasi cinta dengan si abang.
Namun, saat sang mantan sudah mulai menjurus ke ranah hukum, kita bisa gunakan Be Your Own Lawyer. Jadi tidak ada istilah “sembunyi di bawah ketiak” pengacara, walaupun dibayar sangat murah. Seperti kata sedulur kita, “Itu bukan MTR”.
Lalu, slogan “High Energy Win”, salah satunya dapat kita aplikasikan saat berhadapan dengan kolektor namun semua itu tetap dalam koridor visi-misi dengan dalil yang tidak terbantahkan.
Untuk sahabat-sahabat yang masih berfikiran VMC MTR itu “ngaco”, atau yang masih menjadi MTR jadi-jadian, sadarlah..
Sadarlah bahwa ummat membutuhkan solusi nyata, bukan hanya eforia dakwah yang penuh dengan pencitraan.
Kembalilah…
Kembalilah pada jalan yang lurus dan benar, bukan jalan samar dan gelap penuh bayangan.
Dalam ISLAM, kita adalah bersaudara, bahu membahu dalam menegakkan peradaban ISLAM, bukan musuh yang saling menjatuhkan dan saling teriak saya yang paling benar.
Kita sedang berjuang menegakkan kebenaran yang haq, bukan mengobarkan api kebencian dan lantas merenggutkan arti persaudaraan.
Ingatlah, ISLAM tidak akan berjaya sebelum kita bersatu dan bebas dari saling menjatuhkan…
Alhamdulillah kabar bahagia datang kembali di tengah warga MTR. Syafril Joni, saudara kita si empunya kabar bahagia tersebut berasal dari Kandis, Kabupaten Siak, Provinsi Riau.
Beliau baru bergabung komunitas MTR (asyarakat Tanpa Riba) 30 November 2019 lalu. Event yang beliau ikuti pertama adalah TPW (Temu Pengusaha dan Warga MTR) Duri. Dan setelah itu, hanya dalam kurun 7 bulan, beliau berhasil menyelesaikan 2,5M utangnya.
Berapa sih utang Pak Syafril? 3,3M saja, saudara! Dan itu berasal dari 3 titik utang. Dua titik pinjaman kepada perbankan, dan satu titik lagi dari sebuah leasing.
Tapi yang namanya utang, sedikit atau banyak sudah bikin pusing, kan? Lagipula kalau dihitung dari total utangnya, Pak Syafril berhasil memberesi 75% utangnya hanya dalam bilangan bulan setelah bergabung dengan MTR.
Mohon do’anya kepada sahabat MTR semua, semoga Pak Syafril dan kita semua bisa segera melunasi utang dalam waktu dekat ini. Dan bisa segera merasakan MERDEKA yang sesungguhnya Aamiin….
O ya, kepada teman-teman “utangers” yang belum kenal dengan MTR, Pak Syafril mengajak segera bergabung dengan MTR terdekat. Selain akan mendapatkan pembelajaran cara lunas utang miliaran seperti yang sudah berhasil dipraktikkan Pak Syafril, Anda juga akan mendapatkan pembelajaran tentang tujuan hidup yang hakiki. “Mau sampai kapan kita bermaksiat terus-menerus (dalam riba), demi sesuatu yang tidak dibawa mati?” pungkasnya.
Membaca ulang salah satu tulisan pak DI yang ada di Buku Merah, mengingatkan lagi pengalaman ‘indah nan membahagiakan’. Ketika dulu sempat belasan tahun berteman, bahkan juga sampai berdunsanak dekat dengan yang namanya bilyet giro.
Kecemasan dan ketegangan yang dilalui bertahun-tahun bersama cicilan Oetang si Abang, sungguh sangat ‘disempurnakan’oleh hadirnya lembaran-lembaran giro yang harus ditebus. Sampai-sampai berharap,kalau bisa yang ada hanya hari Sabtu dan Ahad, tanpa kehadiran Senin, Selasa, Rabu, Kamis dan Jum’at. ( yang biasa atau pernah bermain giro, pasti paham maksudnya 😊 )
Bersyukur, ketika Februari 2019 mengikuti salah satu acara MTR di Bogor, kami merasa mendapat jalan terang untuk bisa melepaskan diri.
Ya,momennya kami dapatkan ketika salah seorang pegiat MTR, H. Saikhul Hadi yang diminta memberi testimoni, menyampaikan beberapa hal. Termasuk bahwa dirinya tak lagi memakai giro dalam urusan usahanya.
Saat itu kami lansung tersentak dan meyakini, inilah kalimat tepat yang kami butuhkan. Karena sampai saat itu kami memang masih belum melepaskan diri dari urusan giro dengan segala kegilaannya.
Dan sepulangnya, kami lansung membuat keputusan untuk menghentikan segala keterkaitan dengan giro, yang ternyata selama bertahun tanpa kami sadari, juga mengandung unsur riba dalam pelaksanaannya.
Pastinya yang namanya giro, andaikan tak ada unsur ribanya pun, akan selalu bisa membuat pemuja dan pecintanya setiap hari pusing 17 keliling. Sebab akan tetap berhadapan dengan salah satu ‘pasal’ dalam ‘UU MTR’ tentang utang, yakni ‘Membayar Kepastian dengan Ketidakpastian. ’
( informasinya,dimasa pandemi ini,efek samping sang giro semakin kuat dan semakin membuat gendeng para pemakainya )
Setahu kami, tak sedikit para pedagang dan pengusaha satu kota, yang akhirnya terjebak utang pada rentenir, diantaranya disebabkan oleh desakan dan ancaman kilauan kapak sang Giro Sableng.
Bagaimana dengan kota lain? Apakah juga ada kasus serupa? Kami yakin tak ada (bedanya ). Hmmm..
Alhamdulillah, setelah lebih dari setahun melepaskan diri dari cengkraman sang giro ,kehidupan terasa lebih enteng dan nikmat tanpa harus lagi berhadapan dengan sang giro dan aksi terornya.
Lalu apakah usaha bisa tetap berjalan tanpa kehadiran sang giro?
Insya ALLAAH bisa, asalkan kita mau dan mampu berkomunikasi secara baik dengan para agen atau pemasok, serta bisa sentiasa menjaga TRUST dan POSISI TAWAR kita di hadapan mereka.
Dan Alhamdulillaah, kami diberi petunjuk oleh ALLAAH AL HAADII , untuk menemukan Skema Baru dalam pembayaran. Sebuah cara sederhana yang setelah diterapkan terbukti bisa menjadi ‘Win-Win Solution’ bagi usaha kami dan para supplier. Terutama di masa pandemi yang cukup melelahkan dan melemahkan ini.
Sungguh, perpisahan dengan sang giro adalah satu nikmat besar ALLAAH yang sangat tiada pantas untuk didustakan.. WALLAAHU A’Lam
Semoga pengalaman ini hanya terjadi di daerah sono. Telah berkisah sahabat kami saat melakukan perjalanan syafar dan bertepatan hari Jum’at. Kebetulan pada saat tersebut sahabat kami turut menjalankan ibadah sholat Jum’at dan tidak mengambil rukhsah syafar.
Beliau bertutur sebelum khotbah Jum’ah ditegakkan, seorang takmir Masjid mengumumkan beberapa agenda masjid. Salah satunya perihal saldo infak kotak amal masjid.
Saat takmir tersebut mengumumkan angkanya, sahabat kami sontak mengangkat kepalanya, memandang nanar ke sang takmir yang berbicara di depan. Bagaimana tidak bengong, angka yang disebut itu tidak main-main. Kalau dituliskan ada 9 digit berderet. Betul, kotak infak masjit itu mencapai angka miliaran!
Bukan karena kagum atas besarnya angka itu. Sumbangan jamaah, kalau diakumulasikan tidak mustahil mencapai angka yang sangat besar. Namun pertanyaan selanjutnya adalah,”Akan ke mana nasib kotak amal masjid ini?”
Selang beberapa saat, sahabat kami memperoleh jawaban dari pengumuman pengurus takmir masjid bahwa, SALDO INFAK KOTAK AMAL TERSIMPAN DI REKENING BANK…..!!!
Sontak dalam hati sahabat kami pun muncul pertanyaan-pertanyaan lanjutan;”Siapa yang memanfaatkan uang infak kotak amal masjid tersebut, yaa? Siapakah sebenarnya yang diuntungkan? Sebenarnya infak kotak amal masjid itu hak siapa? Terus bagaimana syareat untuk pemanfaatan kas uang umat?”
Mungkin bila saya atau Anda ikut di masjid itu pada saat yang sama, juga akan muncul pertanyaan yang sama.
Bila kita mau meninjau bagaimana dalam tarikh di era kepemimpinan Khalifah ‘Umar Bin Khatab’ terkait pengelolaan Kekayaan Baitul Mal, sahabat ‘Ali Bin Abi Thalib’ pernah mengusulkan kepada Khalifah agar tidak menyimpan harta sedikitpun di Baitul Mal. Sehingga apa yang terkumpul tiap tahun, disarankan langsung dibagikan kepada yang berhak menerima, dan tidak sedikitpun dari harta tersebut ada yang disimpan.
Semoga al kisah ini bisa menjadi salah satu informasi dan inspirasi kepada umat, bagaimana menjadi bijak dalam pengelolaan INFAK KOTAK AMAL. Agar infak itu bisa memberikan manfaat lebih luas dan tepat sasaran dalam mendorong pergerakan ekonomi umat. Bukan malah menguntungkan pihak lembaga RIBAWI.
Senin 31 August 2020. SAYA ingin sesekali ikut forum pendidikan satu ini: tanpa utang. Setidaknya pendidikan tahap satunya. Saya tidak mau langsung ke tahap tujuh.
Pasti berat.
Pendidikan ‘tanpa utang’ tahap satu itu hanya 7 menit. Pelaksanaannya di masjid-masjid. Waktunya: setelah salat apa saja. Tergantung masjid mana yang mengundang. Kurikulum pendidikan tahap satu itu disebut program “go to masjid”. Sifatnya melayani permintaan ceramah dari masjid-masjid.
Pun kalau ada permintaan ceramah dari gereja mereka juga mau melayani. Sebab riba itu juga dilarang oleh Injil.
Judul pelajaran tahap satu di masjid-masjid itu: “tabiat buruk utang”. Di situ dijelaskan dampak-dampak buruk punya utang.
Salah satu dasarnya, kata Mulyono, adalah ucapan (hadist) Nabi Muhammad SAW tentang utang. Seperti yang dikisahkan At Turmudzi dalam kitab Riyadus Sholihin. “Punya utang itu siang dihinakan, malam tidak bisa tidur.”
Mulyono juga menyebutkan 8 pasal dalam Injil yang mencela utang. Misalnya Injil Amsal Pasal 22 ayat 7: Orang kaya menguasai orang miskin, yang berutang menjadi budak dari yang mengutangi.
Di masjid, peserta pendidikan 7 menit itu, bisa mendapat buku merah. Isinya: 40 tabiat buruk berutang.
“Harusnya negara juga menghindari 40 tabiat buruk seperti itu,” ujar Mulyono, aktivis Masyarakat Tanpa Riba (MTR) dari Sragen.
Mulyono, pengusaha pupuk organik itu baru saja melunasi utangnya sebesar Rp 40 miliar. (DI’s Way edisi 19 Agustus 2020: Mulyono Merdeka).
Masjid mana pun, ujar Mulyono, bisa mengajukan permintaan penceramah kepada MTR setempat. Banyak anggota MTR yang sudah dididik (istilah Mulyono: di-upgrade) untuk menjadi penceramah program “go to masjid”.
Salah satu syarat penceramah itu adalah: ia/dia sendiri sudah berhasil hijrah. Artinya: sudah tidak punya utang lagi. Dakwah terbaik, katanya, harus dimulai dari diri sendiri.
Dari pendidikan level satu tadi akan diperoleh calon-calon peserta hijrah. Yakni mereka yang masih punya utang tapi punya niat meninggalkan utang. Maksud saya: punya niat melunasi utang.
Mereka itulah calon peserta pendidikan level dua. Disebut juga pendidikan tingkat TPW –Temu Pengusaha Warga.
Pendidikan level dua ini tidak lagi di masjid. Sudah harus di hotel. Lamanya: 2-3 jam. Peserta harus membayar Rp 150.000. Untuk sewa hotel dan menyiapkan konsumsi.
Di level TPW ini dihadirkan satu penceramah. Isi ceramah masih tentang ‘tabiat buruk berutang’. Tapi sudah mulai ditampilkan kesaksian-kesaksian dari yang hadir. Misalnya pengusaha yang sampai stres mikir utang. Atau pengusaha yang bangkrut karena utang.
Dari sini ada pendidikan lanjutan tahap tiga. Program itu disebut SMHTR –Sukses Mengembangkan Harta Tanpa Riba. Tempatnya di hotel yang lebih bagus. Kurikulumnya lebih ke soal enterpreneur. Lamanya dua hari. Harus bermalam di hotel itu, satu malam. Bayarnya Rp 1,5 juta –untuk kamar hotel dan makan.
Masih ada lagi pendidikan tingkat empat. Topiknya: PBTR –Platform Bisnis Tanpa Riba. Di level ini mulai dibahas cara-cara negosiasi melunasi utang di bank.
Di level ini pula ditampilkan pembicara dari kalangan pengusaha sendiri. Yakni anggota MTR yang dianggap punya cara terbaik melakukan negosiasi dengan bank. Untuk ditiru. Setidaknya untuk menjadi inspirasi.
Diajarkan juga langkah-langkah administrasi yang harus diselesaikan dengan bank. Harus ada dokumen tertulis sebagai bukti. Harus pula berkirim surat ke bank.
Surat pertama itu isinya harus sopan tapi tegas: tidak mau lagi membayar bunga. Dengan alasan terang-terangan: bunga itu haram.
“Dulu kami meminjam uang ke bank karena kami belum tahu tentang ajaran agama itu. Setelah kami belajar agama lebih dalam ternyata bunga itu haram. Kami dilarang membayar bunga bank. Karena itu sejak kirim surat ini kami tidak mau lagi membayar bunga. Kami akan melunasi pinjaman pokok yang masih tersisa,” kira-kira begitu bunyi surat itu.
Setelah kirim surat seperti itu mereka menghadap pimpinan bank. Untuk membicarakan cara pelunasannya. Tentu akan menawar untuk mendapatkan cara pembayaran yang tidak berat.
Setelah pendidikan tahap empat itu masih ada pendidikan lanjutan: Becoming Marketer and seller. Itu karena perusahaan harus berkembang dan sukses. Jangan sampai setelah utang lunas, justru mengalami kesulitan. Apalagi justru bangkrut.
Maka dilakukanlah pendidikan untuk mengembangkan usaha. Sesama anggota harus sering bertemu. Agar kalau ada yang terkena masalah segera dicarikan jalan keluar.
Pendidikan berikutnya adalah level enam: Strategi Eksekutif. Ini menyangkut pelajaran manajemen perusahaan. Terakhir pendidikan keuangan: cara cerdas kelola keuangan perusahaan.
Begitulah mereka.
Meski baru, gerakan MTR ini berkembang pesat. Anggota Facebook-nya saja sudah 100.000 orang.
Awalnya itu hanya organisasi kecil bernama PTR –pengusaha tanpa riba. Program utamanya: menggapai hidup mulia dan hidup berkah.
Itu baru dibentuk tahun 2015 lalu. Yang mempelopori adalah anak muda ahli marketing –dalam ilmu dan praktik. Ia pernah menjadi manajer marketing yang sukses di perusahaan besar seperti Gudang Garam dan Djarum.
Saya tahu namanya. Ia sering menghubungi saya lewat WA. Tapi ia keberatan disebutkan namanya. Ia tidak ingin jadi orang terkenal. Asli Bondowoso tapi tinggal di Sentul. Dekat Jakarta.
Ia tipe teknokrat: bisa merencanakan, bisa mengembangkan, bisa membuat target, dan bisa merumuskan/mengerjakan rencana itu sampai mencapai target yang ditetapkan: Masyarakat Tanpa Riba itu.
Mulyono adalah salah satu contohnya yang sukses.(Dahlan Iskan)
Kesabaran itu berbuah manis. Setelah bergabung dengan MTR selama 23 bulan, Muhammad Mansyur, akhirnya bisa juga merasakan lunas utang miliaran. Namun setelah itu, ia memutuskan beralih usaha dari dunia kontraktor ke bisnis klinik kecantikan yang telah dirintis istrinya. Apa alasannya?
Padahal, industry kontraktor termasuk salah satu bisnis yang menggiurkan. Di negara-negara berkembang, khususnya yang berkembang industry propertinya, bisnis jasa konstruksi menjadi bagian tidak terpisahkan dalam proyek-proyek pembangunan. Bidang ini termasuk bisnis jasa terlaris yang sangat dibutuhkan. Bahkan juga oleh segmen perorangan yang butuh dalam pembangunan rumah pribadi.
Maka tidak mengherankan, jika bisnis konstruksi menjadi tujuan utama ketika pak Mansur menyelesaikan pendidikan teknik sipilnya. Pada awalnya ia melayani jasa konstruksi di proyek-proyek pemerintah. Sesuai kompetensinya, perusahaannya berkembang pesat hingga ia memiliki 7 perusahaan skala kecil sampai menengah.
Namun sejalan dengan berkembangnya bisnis, utangnya pun semakin membengkak. Maklum saja, modal bisnis jasa konstruksi butuh biaya tidak sedikit. Selain modal pembelian bahan baku materail, dan sub kontraktor (kalau perlu), ia juga harus selalu siap dengan uang cash untuk membayar tenaga kerja secara periodik.
Rata-rata, hamper semua kontrakto menutup kebutuhan modal itu melalui utang. Maka dengan 7 perusahaan konstruksi yang ia miliki, mudah dipahami jika makin lama modal yang dibutuhkan juga semakin besar. Dan dalam mindset lama pak Mansur, tak ada jalan lain kecuali menutup kebutuhan itu melalui utang.
Pada suatu masa, pak Mansur pernah memiliki utang sampai Rp7miliar. ”Pusingnya minta ampun. Nggak bisa mikir lagi, setiap hari dirongrong dan ditagih,” ujarnya.
Keinginan menyelesaikan utang sudah pasti ada. 7M utang yang terserak di 36 titik bank, KPR, leasing mobil dan motor, utang pribadi/perorangan, bahkan untang kepada rentenir itu berhasil ia kurangi menjadi 5M. Namun kembali lagi, ia mengakui, karena pemahaman dan pemikiran tentang utang belum bagus, ia kembali terjerumus ke lembah utang lagi.
Seperti halnya para pecandu utang, penyakit utang memberikan efek yang merusak bisnis. Problem terberat dari utang, menurut laki-laki kelahiran Pekalongan 14 Maret 1977 ini, adalah menurunnya kreativitas dan daya saing yang berimbas pada penurunan produktivitas.
Tekanan utang yang luar biasa, kata Pak Mansur, membuatnya tidak fokus dalam mengelola bisnis. “Pendek kata, selama masih menjalankan bisnis dengan modal utang, yang kita pikirkan tiap bulan hanya setoran dan setoran. Semua jadi nggak focus lagi,” ujarnya.
Tak cukup menurunkan kinerja bisnis, efek tabiat buruk utang juga berpengaruh terhadap kehidupan pribadi. Pak Mansur berterus terang, karena tekanan utang yang luar biasa, keluarga seringkali dinomorsekiankan. Pikirannya sudah tersita penuh untuk menutup cicilan setiap bulan. Alhasil kebutuhan keluarga pun sering tertunda demi kejar setoran.
Namun di atas semua itu, efek tabiat buruk utang paling berat yang ia rasakan adalah jauhnya dari ajaran agama Allah.
Dikasihani Tetangga
Hingga pada awal 2017, seorang tetangga mengenalkannya kepada Masyarakat Tanpa Riba (MTR).
“Mungkin dia kasihan melihat saya tiap hari pergi pagi pulang malam sehingga kelihatan tidak bisa menikmati hidup. Beliau berkunjung ke rumah, lalu memperkenalkan saya dengan MTR,” kisahnya.
Narasi pertama bahwa MTR adalah komunitas Islam yang bertujuan untuk menyadarkan dan mengedukasi warga/umat agar terbebas dari utang dan riba, membuat Pak Mansur semakin penasaran. “Saya ingin tahu, gimana menyelesaikan utang yang sudah telanjur membelit,”ujarnya. Memuaskan rasa penasaran itu, ia pun memutuskan untuk bergabung dengan MTR dan mulai mengikuti kegiatan-kegiataan seminar yang diadakan MTR.
Benar juga, setelah bergabung dengan MTR beberapa lama, Pak Mansur berhasil membuktikan kebenaran solusi atas utang-utangnya yang diajarkan oleh MTR.
Bukan sekadar penyelesaian masalah utang, ia bahkan merasa mendapatkan lebih. Manajemen bisnisnya menjadi lebih tertata, begitu juga kehidupan pribadinya dengan terwujudnya hubungan kekeluargaan yang ia rasakan menjadi jauh lebih harmonis. Lebih dari itu, ia juga merasa mendapatkan keberuntungan yang tidak ternilai dengan apapun, dengan bertambahnya saudara seperjuangan.
Perubahan paling besar yang ia rasakan sejak bergabung dengan MTR justru terkait dengan fundamental keimanan. Yang selama ini, ia tidak tahu tujuan hidupnya, sejak belajar di MTR Pak Mansur mengalami perubahan total dalam pola pokir dan pola sikap secara fundamental.
Secara teknis, Pak Mansur mendapatkan pelajaran bagaimana menyelesaikan utang-utangnya. Melalui coaching dari para pengampu MTR, ia berhasil menyelesaikan utang-utangnya satu per satu. Ada yang melalui penjualan asset, ada yang ditebus dengan mengembalikan mobil/motor ke leasing yang sudah telanjur ia kredit. Untuk utang perorangan, ia datangi langsung dan minta kelonggaran waktu untuk penyelesaian.
Bersamaan dengan ia, Pak Mansur berusaha melakukan perbaikan diri. Ia minta maaf kepada istri dan anak-anaknya karena selama ini telah memberi nafkah dari harta haram, meminta maaf dan restu kepada orang tuanya, serta perbaikan ibadah secara total.
Alhamdulillah, setelah melakukan perbaikan fundamental keimanan, atas ijin Allaah benang kusut itu terurai. Satu per satu problem utang bisa terselesaikan. Hingga dalam waktu kurang lebih 2 tahun, semua bisa terlunaskan. Dan puncaknya, pada 3 Januari 2020 ini, ia resmi diwisuda sebagai alumni Lunar Utang Miliaran. Dihitung-hitung ia butuh waktu 23 bulan untuk mengurai benang kusut problem utangnya yang sudah membelit selama beberapa tahun.
Di luar masalah utang, satu added value –bukan, bukan added value, lebih tepatnya main value, tidak ternilai yang ia dapatkan selama kurun pembelajaran MTR adalah tentang keimanan. Pak Mansyur menjadi tersadarkan, sadar atau tidak, selama ini telah banyak melakukan maksiat sampai melupakan Allah. Lupa bahwa pada hakekatnya segala yang ada di muka bumi ini adalah milih Allaah. Dan ia menyadari, sudah cukup lama melupakan sang Maha tersebut.
Dari Kontraktor ke Klinik Kecantikan
Satu keputusan besar yang Pak Mansur ambil setelah berhasil melewati jembatan menuju lunas utang miliaran, adalah berhenti dari dunia kontraktor. Bukan keputusan yang ringan, namun sudah ia pikirkan matang-matang.
Secara pribadi ia merasa, selama berbisnis kontraktor -terutama yang berhubungan dengan proyek pemerintah, hamper tidak punya celah untuk berbuat baik.”Suap, mark up, dan KK adalah hal biasa di dunia itu,” ujarnya.
Atas pertimbangan itu, ia memutuskan untuk beralih usaha. Bersama istrinya yang seorang dokter, ia memutuskan membuka klinik kecantikan bernama Wima Aestetic Seiring dengan berjalannya waktu dan atas berkah rahmat Allah yang Maha Pengampun, bisnis itu sekarang berkembang pesat. Tanpa utang, praktik KKN, suap, mark up dan semacamnya, keluarga pak Mansur Kembali hidup nyaman, bahagia, dan berkelimpahan.
Kepada para pengusaha muslim yang masih terjerat dalam belitang utang, Pak Mansur berbagi tips berikut ini. “Yang pertama dan utama, hindari seluruh kemaksiatan agar bisnis dan hidup kita selalu dirdho Allah subhana wa ta’ala.”
Anda siap mengikuti jejak Pak Mansur? Mari bergabung dalam Gerakan lunas utang Miliaran bersama MTR dan tunggu event-event seminar bisnis berkah yang tengah kami siapkan. ***