@Sarwo|MTR Jakarta||
Sungguh menarik nasihat yang disampaikan Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin, M.S. kepada rombongan Masyarakat Tanpa Riba (MTR) dalam acara “Meminta Nasihat Tokoh Nasional” yang digelar Sabtu, 18 Juli 2020 di Universitas Ibnu Khaldun (UIKA), Bogor lalu. Rombongan MTR disambut Pak Kyai, panggilan akrab Prof. Didin, dengan didampingi oleh beberapa Direkturnya di Gedung Pasca Sarjana.
Dalam pengantarnya, Pak Kiai menyampaikan QS Ar-Room ayat 39 yang turun pada saat Nabi diboikot secara ekonomi di Mekkah.
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah….” QS. Ar Rum [39]
Menurut Pak Kyai, ayat ini menunjukkan bahwa praktek riba sudah parah pada jaman itu (+1400 tahun yang lalu – red), sehingga turunlah peringatan Allah terhadap riba. Namun begitu, jika dibandingkan kondisi sekarang, praktek riba jaman sekarang sebetulnya lebih parah. Kalau dahulu, riba dikenakan setelah yang berutang tidak bisa melunasi pada waktu yang telah disepakati. Sekarang, bahkan mulai tanda tangan kontrak utang pun, riba sudah dikenakan.
Islam adalah agama yang mengutamakan proses, tidak hanya melihat hasilnya saja. Sedangkan, sistem riba hanyalah dilihat dari hasil. Jika uangnya bertambah besar, itulah hasil yang dikehendaki, tidak mempedulikan bahwa prosesnya merupakan sesuatu yang dilarang dalam agama. Sekarang ini, negara pun sudah menumpuk utang. Tidak ada kesungguhan untuk keluar dari utang dan tidak ada kepercayaan bahwa utang bisa segera diselesaikan.
Melihat di MTR kebanyakan anggotanya berasal dari kalangan pengusaha, beliau menuturkan bahwa dalam An Nur 37, Allah memberikan pujian kepada para sahabat Nabi. Mereka adalah para pedagang (businessman) yang ulet di pasar, namun begitu mendengar azan, mereka bergerak bersama ke masjid. Tidak lupa juga mereka dengan zakat dan infaqnya.
Mereka melakukan hal itu itu karena takut nanti bertemu dengan Allah dalam keadaan terbelalak matanya mendapati bahwa apa yang mereka lakukan dahulu, yang mereka sangka adalah perbuatan baik, ternyata tidak.
“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang”, QS An-Nur [37]
Perbuatan ibadah dan muamalah ini harus jalan bersamaan. Pak Kyai berharap semoga MTR bisa menjadi contoh dan pelopor. Saat ini yang diperlukan adalah “Quran berjalan”, contoh pengusaha yang jujur, jauh dari riba. Itulah pengusaha yang sukses. Sukses sendiri harus dilihat bahwa sukses itu adalah setelah kita meninggal nanti.
Selanjutnya, agar MTR istiqomah, beliau memberikan petuah agar kita membangun kebersamaan, dan Islam mengajarkan hal itu. Pak Kyai menyebut bahwa MTR adalah merupakan bagian dari dakwah yang luar biasa. MTR merupakan dai dalam bidang ekonomi, dalam bidang usaha yang bersih. Ini adalah jihad dalam bidang ekonomi yang riil.