“Kok ada ya, komunitas seperti ini?”
Begitu ucapan spontan Helmy Yahya ketika berkunjung ke kantor KSW, Sentul, Bogor, Selasa (18/08) tadi.
Direncanakan jauh-jauh hari, mantan Direktur Utama TVRI ini dengan sukarela datang ke markas MTR tanpa perlu dijemput. Memenuhi undangan kami, beliau bersedia meluangkan beberapa jamnya yang sangat berharga untuk berbagi pengalaman tentang bagaimana “Menggali Ide Kreatif Mengembangkan Bisnis pada Era Pandemi”. Pemaparannya yang penuh insight mendalam berdasarkan praktik, dan pengalaman bisnis, serta latar belakangnya sebagai akuntan, terasa sangat mengayakan.
Selain kepentingan sharing pengalaman, pada moment itu kami juga “menitipkan” 1001 Buku Merah, untuk beliau bagikan kepada para followernya. Melalui raja reality show Indonesia ini, kami berharap pesan mengenai bahaya utang (dan riba) bisa tersebar ke masyarakat yang lebih luas, dari berbagai lapisan. Seperti halnya yang kami lakukan kepada Musisi Ahmad Dani sehari sebelumnya.
Yup, tepat pada hari kemerdekaan, musisi kenamaan itu menerima segenap warga MTR di vilanya yang terletak di Cisarua Bogor. Kepada pentolan Grup Band Dewa itu, kami juga menyampaikan 1001 Buku Merah. Tak berselang lama, akun media sosialnya mengumumkan bagi siapa saja yang ingin mendapatkan Buku Merah dipersilakan datang ke alamatnya. Mudah-mudahan pesan kami melalui buku merah juga sampai ke segmen penggemar Ahmad Dani.
Lalu apa pendapat Dani sendiri terkait utang? Di channel Youtube yang ia luncurkan untuk menyambut HUT RI ke-75 ini, pentolan band Dewa itu menyampaikan pendapatnya sebagai warga negara dan bangsa, bahwa utang adalah salah satu indicator kemerdekaan.
Selama kita masih berutang dengan syarat yang berat, menurutnya, secara nyata sebenarnya kita belum mencapai kemerdekaan yang hakiki, terutama di bidang ekonomi. Apalagi jika syarat-syarat yang mereka ajukan kemudian mendikte kebijakan-kebijakan di dalam negeri kita. Misalnya dengan mempersyaratkan penggunaan TKA dari negara pemberi utang dalam proyek yang dibiayai utang dari negara tersebut.
Di sisi lain, lanjutnya, hal itu sekaligus menunjukkan ketidakmampuan kita dalam melakukan negosiasi yang baik (menguntungkan) terhadap pemberi utang. “Mungkin boleh berutang, tapi negosiasinya harus baik sehingga kita masih punya kedaulatan sebagai bangsa,”lanjutnya.
“Yaah, tapi memang sulit bicara merdeka ketika masih punya utang banyak. Teriakan merdeka adalah sesuatu yang absurd ketika kita masih dikuasai kreditur (asing),” pungkasnya pahit.
Ah, Anda yang sudah memiliki pengalaman panjang berutang sebelum bertemu MTR, pasti paham sekali rasa hilang kemerdekaan seperti yang dibilang Dani. Kapok, kan?