Letakkan semua permasalahan dari sudut pandang aqidah, niscaya tidak ada kata gagal dan tidak bahagia.
@AmirMahmudin|MTR Jateng||
Mengapa dalam kehidupan ada bahasa gagal dan ada bahasa berhasil? Apakah ada dampak dari tersampainya informasi berhasil dan informasi gagal? Mengapa ada orang yang bisa survival dan ada pula yang tumbang dalam menghadapi dinamika kehidupan?
TERNYATA untuk menemukan jawaban atas pertanyaan – pertanyaan di atas sangatlah mudah. Karena jawabannya langsung ada di dalam diri kita masing-masing. Yuuuk kita berselancar dengan sumber pertanyaan mengapa dan apakah?
BAHASA GAGAL dari kebanyakan pemahaman orang disimbolkan dengan adanya kerugian fisik dan atau materi. Sedangkah kebahagiaan sering kali disimbolkan keuntungan secara fisik dan atau materi yang diapatkan oleh seseorang.
Akan berbeda makna bila yang memahami adalah seseorang yang melihat makna BAHAGIA SECARA AQIDAH. Dirinya telah purna memahami keberadaannya di dunia adalah untuk beribadah atas perintah Sang Pencipta Alam Semesta.
Karenanya ia senantiasa memaknai hanya dengan satu kata, yaitu BAHAGIA. Mengapa demikian? Karena kata GAGAL yang menurut orang lain adalah satu bentuk kerugian, sedangkan menurut dirinya adalah satu bentuk aktivitas ibadah yang bernilai pahala…walhasil bahagia dunia dan Insya Allah bahagia pula di akhirat.
Sudut pandang berbeda memberikan pemahaman dan sikap yang berbeda pula.
Dari Zaid bin Tsabit r.a. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Barangsiapa tujuan hidupnya adalah dunia, maka Allâh akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefakiran di kedua pelupuk matanya, dan ia tidak mendapatkan dunia kecuali menurut ketentuan yang telah ditetapkan baginya. Barangsiapa yang niat (tujuan) hidupnya adalah negeri akhirat, Allâh akan mengumpulkan urusannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina.” (HR. Imam Ahmad dalam Musnadnya (V/ 183); Ibnu Mâjah (no. 4105); Imam Ibnu Hibbân (no. 72–Mawâriduzh Zham’ân); al-Baihaqi (VII/288)
Beralih pada pemahaman tentang rizki. Sering kita mendapati pernyataan “rizki saya sedang seret, rizki saya lagi sedikit, usaha saya sedang hancur”,
Atau sebaliknya, kita mendapati sesorang yang perasaannya akan bahagia, damai, tentram manakala isi dompetnya terisi penuh dengan tumpukan rupiah, rekening deposit banknya banyak, dan investasinya sedang berjalan lancar.
Sehingga saat uang di dompetnya menipis, ia gelisah. Saat deposit banknya terkuras, ia gelisah dan lebih – lebih saat invetasinya sedang jeblok, perasaanya kalang kabut, stres, lunglai dan terasa bahagia telah hilang dari kehidupannya.
Mengapa terjadi demikian? Karena pandangan matanya dan pemahamanya mengartikan rizki itu hanya tertuju kepada harta, isi dompet, deposit bank atau lancarnya aktivitas investasinya.
Lagi-lagi bagi sesorang yang memandangnya dari pemahaman Aqidah Islam, purna mengartikan rizki itu bukan semata harta, isi dompet, deposit bank atau nilai investasi. Itu semua adalah bagian kecil dari tidak terhingganya jumlah rizki yang Allah berikan kepada manusia (mahluk).
Rizki adalah semua pemberian dari Allah, baik terkadang baik, terkadang buruk, terkadang menyenangkan dan terkadang tidak menyenangkan untuk ukuran mahluk. Sejatinya semua pemberian dari Allah adalah baik dan membawa kebaikan untuk mahluk.
Sekali lagi, sudut pandang berbeda memberikan pemahaman dan sikap yang berbeda pula.
“Dan tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah melapangkan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang dikehendaki-Nya? Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang beriman.” (QS. Az-Zumar :52)
“….Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. At-Thalaq : 2-3)
Selanjutnya bagaimana saat sesorang yang diminta berbagi, sementara dirinya sedang mengalami keterpurukan? Ada sebagian orang memfokuskan pandangannya kepada dirinya, ia fokus memenuhi kebutuhan, menjaga dan melindungi diri serta keluarganya serta mengabikan keadaan orang lain yang membutuhkan bantuannya.
Menjadi berbeda pada sebagian orang yang memahami kehidupan dengan pemahaman Aqidah Islam, selain dirinya berupaya memenuhi kebutuhan diri dan keluargannya, dalam waktu yang bersamaan ia pun memperhatikan serta berbuat untuk orang lain yang membutuhkan.
Lagi-lagi, sudut pandang berbeda memberikan pemahaman dan sikap yang berbeda pula.
“Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah Sallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda: “Barangsiapa yang meringankan kesusahan seorang mukmin di antara kesusahan – kesusahan dunia, niscaya Allah akan meringankan kesusahannya di antara kesusahan-kesusahan hari kiamat. Barangsiapa memudahkan orang yang sedang kesulitan, niscaya Allah akan memberinya kemudahan di dunia dan akhirat. Dan barangsiapa menutupi (aib) seorang muslim, niscaya Allah akan menutupi (aibnya) di dunia dan di akhirat. Allah akan selalu menolong seorang hamba selama ia mau menolong saudaranya.” (HR. Muslim).*
Bagaimana juga pada saat keadaan sesorang yang sedang mengalami kesulitan, sedangkan ia dipanggil oleh agamanya untuk berdakwah risalah agamanya?
Ada sebagian orang abai dan memfokuskan pandangannya kepada dirinya, yaitu menyelesaikan permasalahan kehidupan yang sedang ruwet dan sempit. Panggilan agama ia dengar tetapi bersamaan pula ia abaikan.
Menjadi berbeda sebagian orang yang memahami kehidupan dengan pemahaman Aqidah Islam, selain dirinya berupaya menyelesaikan permasalah kehidupan yang sedang ia alami, dalam waktu yang bersamaan ia pun tetap tampil maju memenuhi panggilan dakwah agamanya.
Ah, masih sudut pandang berbeda memberikan pemahaman dan sikap yang berbeda pula.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
“Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad : 7)
Kosekuensi seorang Mukmin adalah beriman kepada yang ghaib. Urusan rizki, urusan kemudahan dalam penyelesaian masalah, urusan kemudahan jalan menuju kebahagian hidup di dunia dan akhirat merupakan sesuatu yang ghaib.
Karenanya tidaklah cukup sebagai seorang yang beriman hanya berkutat pada area yang terindra oleh panca indra saja. Kewajiban dakwah adalah wasilah memantaskan diri agar diturunkanya pertolongan Allah. Menjadi salah besar bila kita abai dan tidak mau mendakwahkan Risalah Allah SWT dan Rasulullah.
BarrakaAllahu Lanna Walakum Jamii’an
Bersama kita sebarkan #SejutaBukuMerah