©MY080420|MTRTangerangRaya||
Terjemahan harfiahnya sih “roti yang ditangguhkan” atau “roti yang digantung”. Tradisi ‘askida ekmek’ ini sudah dilakoni di Turki selama berabad-abad.
Kalau kata Profesor sejarah Febe Armanios yang fokus meneliti hubungan Kristen-Muslim di Timur Tengah dan sejarah makanan di Middlebury College di Vermont, Amerika Serikat, askıda ekmekis merupakan sebuah kebiasaan yang berakar pada zaman Ottoman.
Mungkin kita bisa membeli roti atau bahan makanan pokok, tapi hanya sebagian saja yang kita ambil/makan, sisanya untuk bersedekah. Hal ini terkait erat dengan ajaran dan tradisi Islam yang merupakan agama dominan di Turki.
Hendaklah orang yang mampu memberikan sesuatu kepada orang lain sesuai dengan kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi santunan dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS 65/At-Thalaq: 7)
Ayat diatas merupakan ‘kode keras’ tentang pentingnya memberi santunan, terlebih di masa covid ini. Jangankan yang dilapangkan rezekinya, yang disempitkan rezekinya pun diminta kontribusinya sesuai kemampuan. Karena sesudah kesempitan, Allah pasti akan memberikan kelapangan.
Perlu diingat yang dilapangkan rezekinya atau disempitkan rezekinya bukan otomatis berkolerasi dengan kaya miskin, lho? Di masa covid-19 ini — dari kuli bangunan sampai kontraktor milyaran, banyak yang merasa disempitkan rezekinya. Ya, nggak? Ngaku deh! Tapi membantu sesame, kudu ya Bro?
Itulah pentingnya kita semua tanpa terkecuali meluangkan waktu beberapa menit untuk mengisi form jejaring ekonomi lewat link yang diberikan korda MTR masing-masing. Bagi yang belum paham atau kesulitan, share aja di WAG atau japri, insya Allah banyak yang bantu.
Back to ‘askida ekmek’…
Nah, para fakir miskin, atau ibnu sabil yang kebetulan lewat toko tersebut merasa butuh pengganjal perut, mereka tinggal ngomong saja sama kepada pemilik toko.
“Askıda ekmek var mi (Apakah ada roti dikait?)”
Jika pedagang bilang ada, maka mereka dapat mengambil roti yang digantung tersebut secara gratis.
Dikutip dalam risalah Masail Ajaba ‘anha, al-Hafidz Ibnu Hajar pernah ditanya tentang hukum menghinakan roti. Apakah boleh membuangnya di tanah? Atau kita harus mengagungkannya?
Begini jawaban al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani,
لا أعلم أحدًا من العلماء قال بجواز إهانة الخبز، كإلقائه تحت الأرجل، وطرح ما تناثر منه في المزبلة مثلاً أو نحو ذلك، ولا نصّ أحد من العلماء على المبالغة في إكرامه، كتقبيله مثلاً، بل نصّ أحمد رضي الله عنه على كراهة تقبيله ،
Saya tidak mengetahui ada seorangpun ulama yang mengatakan, “Boleh menghinakan roti,” seperti diinjak, atau membuang roti sisa di tempat sampah atau semacamnya.
Juga tidak ada satupun ulama yang menyarankan untuk berlebihan dalam memuliakan roti, seperti mencium dalam rangka memuliakan. Bahkan Imam Ahmad radhiyallahu ‘anhu menegaskan dibencinya mencium roti untuk memuliakan.
Di Turki jika sepotong roti secara tidak sengaja jatuh ke tanah, maka roti tersebut harus diambil secepat mungkin dan diletakkan di tempat yang lebih tinggi. Sikap ini pernah ditunjukkan pesepakbola Jerman keturunan Turki, Mesut Ozil. Dalam suatu pertandingan, Ozil dilempari roti oleh suporter tim lawan. Alih-alih membalas lemparan atau menunjukkan sikap marah, Ozil justru memungut roti tersebut, kemudian meletakkan kembali roti itu di tempat yang cukup aman di luar lapangan.
Orang Turki emang tak terbiasa membuang sisa makanan mereka. Biasanya roti putih yang sudah basi akan kembali diolah menjadi roti panggang, remah roti Prancis, atau untuk makan hewan.
“Askıda ekmek var mi? – Apakah ada roti dikait?”
Wallahua’lam bissawab.
✍️ Education For All