Dahulu, ada seorang mantan karyawan yang ingin memajukan diri menjadi pengusaha. Karena baginya, hidup itu pilihan; memerintah atau diperintah. Akhirnya, pemuda itu memutuskan untuk memilih posisi sebagai yang memerintah (menjadi pengusaha).
Usaha yang ia geluti adalah mengolah limbah jadi berkah. Kotoran sapim ayam dan blotong yang di mata Sebagian orang tidak ada harganya, ia olah menjadi pupuk organic yang memiliki nilai ekonomis. Perlahan-lahan usahanya mendapatkan respon pasar dan semakin berkembang.
Namun seiring itu, ia mulai merasa tidak sabar dengan perkembangan usaha yang dirasakan lambat. Ditambah perasaan bosan miskin dan ingin cepat kaya, ia pun memberanikan diri untuk berkenalan dengan utang. Di dalam pikirannya saat itu :
– kalau ingin usaha, ya harus berani utang
– tanpa utang, usaha tidak semangat
– utang itu mulia karena memberi bunga kepada orang, bukan meminta
– di luar itu ia juga punya pikiran yang tak terungkap, bahkan utang adalah alat bantu untuk mengetes kepercayaan seseorang.
Waktu berjalan, ia pun semakin terbiasa hidup dan berusaha berdampingan dengan utang. Dari satu titik, keakrabannya dengan gaya hidup berutang melebar ke banyak titik. Sampai sebaran titiknya melebihi angka kalender, sampai akumulasi nolnya mencapai belasan digit.
Mulailah dia pusing dengan tanggal jatuh tempo yang datang tiap hari. Kalau jatuh cinta kepada pasangan halal sih enak, bertemu tiap hari. Kalau ketemu jatuh tempo utang…hmmm seperti menunggu detik-detik diterkam buaya..
Singkat cerita, 9 tahun sudah ia menjalankan bisnisnya berdampingan dengan utang yang semakin bergumpal. Dari luar, penampilannya tampak mentereng, sukses, kaya, wah.. namun sejatinya rapuh di dalam. Ia kehabisan cash karena semua uang cash tergerus angsuran dan bunga. Ia telah menggadaikan hidupnya, membayar kepastian dengan ketidakpastian.
Ia mencoba bercermin ke dalam, mencari tahu apa yang terjadi di perusahaannya. Akhirnya ia menyimpulkan, akar dari masalah itu adalah utang. Ia telah kecanduan, tak berdaya untuk lepas dari utang, dan jumlahnya terus bertambah.
Dia menjadi takut setiap kali menghadiri takziah mendengarkan pidato pelepasan jenazah yang selalu membahas tentang utang jenazah. Tak terbayangkan jika dia diambil nyawanya dalam kondisi utang tidak terlunaskan. Bagaimana keluarganya? Bagaimana pertanggungjawabannya di hadapan Allah sang penentu hisap.
Semakin takutlah dia. Hingga akhirnya, awal 2018 muncul tekadnya untuk tidak mengambil utang lagi apapun kondisinya. Yang ada berusaha ia selesaikan, dan mulailah ia hijrah untuk meninggalkan utang.
Untunglah akalnya masih bisa berfikir jernih dalam menyusun langkah demi langkah menuju lunas utang miliaran dengan strategi berikut:
- Tobat say no to utang apapun kondisinya, kecuali darurat (misalnya berkaitan dengan nyawa dan keselamatan)
- Mencatat semua utang yang ada, dan diberi rangking prioritas untuk penyelesaiannya.
- Mengajak rapat keluarga dan karyawan karena semuanya harus sepakat dan mendukung.
- Disiplin membedakan kebutuhan dan keinginan.
- Cash basic (beli kalau ada uangnya)
- Sabar untuk memiliki sesuatu.
Dengan prinsip bersahabat dalam dakwah, ia berusaha melakukan negosiasi terhadap semua pihak yang terkait utang piutang dengannya. Menjelaskan tahap-tahap program lunas utang miliaran yang tengah ia jalankan serta rencana penyelesaiannya. .
Yang ia lakukan memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Namun dengan perjuangan kuat dan konsisten yang dijalaninya selama 2 tahun terakhir, perlahan tapi pasti, perjalanan menuju lunas utang miliaran rupiah hamper samnpai pada tujuan.
Kepada kreditur yang sudah memberi piutang, ia mengucapkan terimakasih atas bantuan dan kelonggarannya selama ini. Serta permohonan maaf jika mereka terdampak akibat program penyelesaian utang-utangnya.
What is your focus, that will enlarge. Bisnis fokusnya ya membesarkan bisnis, bukan focus untuk bayar utang. Jangan sampai memutar bisnis hanya untuk membayar cicilan.
Hijrah itu memang tidak mudah, tapi indah dibelakang.
Adewe – selfreminder, streetstory