Mengapa sebagai Dokter Saya Menolak BPJS?

0
648

@dr. Wiwik Rahayu, M.Kes.
(Penanggung Jawab Klinik Dokter Ari)

Perpres No 82 tahun 2018 mewajibkan pendaftaran peserta mandiri ke BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) kesehatan paling lambat tanggal 1 Januari 2019. Peraturan ini berpengaruh terhadap kunjungan pasien rawat jalan di klinik kami yang menurun drastis. Sebuah perusahaan yang telah lama bekerjasama dengan klinik kam, akhirnya mengalihkan pengobatan ribuan karyawannya ke klinik lain yang menjadi provider BPJS.

Beberapa pasien menanyakan, mengapa memilih untuk menjadi klinik anti mainstream, tetap bertahan tidak bekerjasama dengan BPJS di tengah maraknya klinik dan Rumah Sakit yang berupaya menjadi mitra BPJS ? Apakah disebakan oleh fatwa MUI yang menyatakan haramnya BPJS karena mengandung unsur gharar atau ketidakjelasan akad, mayesir dan riba ??
Ya, memang benar namun bukan hanya itu satu-satunya yang menjadi alasan bagi kami.

Selalu saya mengatakan ini bukan masalah untung dan rugi atau ribetnya birokrasi, namun menyangkut idealisme seorang dokter yang telah disumpah dibawah Kitab suci. Kami memahami bahwa kesehatan adalah sebuah kebutuhan dasar masyarakat yang sangat sulit untuk diwujudkan tanpa kehadiran sebuah negara.

Sering kami menjadi saksi betapa banyak masyarakat yang terpaksa memilih undur diri dari ikhtiar pengobatan. Semua itu karena mahalnya biaya pelayanan kesehatan, yang meliputi harga obat, jasa dokter, alat kesehatan dan lain sebagainya.

Mahalnya biaya pelayanan kesehatan di negeri ini tidak terlepas dari bahan baku obat yang sebagian besar masih impor, distribusi obat yang tidak lepas dari aroma bisnis (sistem obat paten), mahalnya biaya pendidikan kesehatan, dan lain-lain. Semua itu adalah lingkaran setan yang hanya bisa diputus oleh kehadiran sebuah negara.

Namun sayang, ternyata negara ini tidak menyelenggarakan pelayanan kesehatan rakyatnya secara mandiri, justru memilih menyerahkannya kepada pebisnis (swasta). Dengan begitu para kapitalislah yang pegang kendali terhadap urusan kesehatan rakyat. Dan apa yang menjadi tujuan utama mereka? Ya sudah pasti bisnis mencari laba alias keuntungan. Jika demikian, rasanya mustahil mewujudkan pengobatan rasional (efektif, aman dan terjangkau) untuk seluruh masyarakat.

Dalam rangka menyelesaikan permasalahan ini, pemerintah memberi solusi dengan meluncurkan program BPJS semenjak tahun 2014. Dengan harapan pelayanan kesehatan dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat.

Namun sekali lagi, alih-alih memberi solusi, justru menciptakan beban baru bagi masyarakat. Di tengah kesulitan perekonomian masyarakat saat ini, mereka juga harus membayar premi BPJS setiap bulan di samping beban hidup lainnya.

Apakah kehadiran BPJS menyelesaikan masalah ?? Ternyata tidak. Gonjang ganjing BPJS terus terjadi, tarif preminya terus bertambah, namun penyakit yang di tanggung BPJS justru berkurang secara sepihak dan defisit anggaran terus terjadi.

Siapakah yang menjadi korban dari bobroknya program ini? Ya sudah pasti rakyat yang akan menanggungnya.

Kehadiran BPJS tidak akan menyelesaikan masalah kesehatan negeri ini karena negara masih belum menjadi penyelenggara pelayanan kesehatan secara penuh. Dalam program BPJS yang sesungguhnya terjadi adalah pengalihan tanggung jawab dari negara kepada rakyat. Rakyatlah yang menanggung kesehatannya dengan prinsip asuransi gotong royong.

Lantas apa yang saya lakukan ?
Ya, saya sangat menyadari jika saya hanyalah seekor semut yang tengah berada dikobaran api, berbekal setetes air untuk melindungi diri. Selama kesempatan masih ada, maka saya berusaha untuk menolak terlibat dalam kezholiman kebijakan penguasa terhadap rakyat. Kecuali jika semuanya telah berada diluar kendali diri.

Ketidak hadiran negara dalam hal ini adalah konsekuensi dari penerapan sistem kapitalisme sekuler. Inilah yang menjadi biang kerok terjadinya berbagai problematika di negeri ini termasuk masalah dibidang kesehatan.

Dengan demikian,program apapun yang diambil oleh pemerintah selama sistem kapitalisme sekuler masih diterapkan maka tidak akan terjadi perbaikan.

Oleh sebab itu cara yang paling rasional untuk mengatasi berbagai persoalan ini adalah mengganti sistem yang buruk ini dengan sebuah sistem yang mewajibkan negara untuk memegang kendali secara penuh terhadap masalah kesehatan rakyatnya.

Sistem itu adalah Islam. Islam mewajibkan negara bertanggungjawab memenuhi seluruh kebutuhan dasar masyarakat seperti pendidikan, keamanan dan kesehatan. Sehingga seluruh biaya kesehatan masyarakat harus ditanggung oleh negara alias memberi pelayanan kesehatan secara gratis.

Obat merupakan bagian yang tidak terpisah dari kesehatan, oleh sebab itu pengadaan dan distribusinya harus dikelola oleh negara. Begitu juga dengan pendidikan tenaga kesehatan harus ditanggung sepenuhnya oleh negara sehingga tidak ada dokter yang berusaha untuk mengembalikan modal pendidikan. Setelah mereka menjadi dokter akan diberikan gaji yang sangat layak sesuai dengan kompetensinya. Dengan demikian tujuan pelayanan kesehatan semata-mata untuk kepentingan rakyat bukan profit oriented.

Pelayanan kesehatan ideal seperti ini bukan hanya mimpi namun sudah terbukti selama belasan abad ketika syariat Islam diterapkan secara kaffah oleh daulah Khilafah.

Namun pengaturan aspek kesehatan tidak bisa terlepas dari pengaturan bidang yang lainya seperti ekonomi, pendidikan, politik, pemerintahan dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, semua bidang tersebut juga harus diatur oleh syariat Islam secara kaffah.

Allahu A’lam bishowab..

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here