©8370adewe
Salah satu tabiat buruk utang adalah membayar kepastian dengan ketidakpastian. Alih-alih terjadi pemerataan melalui pembangunan infrastruktur, untuk membangun semuanya ternyata digunakan uang utangan.
Padahal kewajiban membayar utang adalah kepastian. Sementara uang untuk membayarnya, diharapkan didapat dari bisnis yang tidak pasti.
Tukang utang yang begitu percaya diri bisa membayar utangannya, biasanya mudah gelap mata. Apapun keinginan dia, akan diselesaikan dengan utang. Karena kalau tidak utang, kapan lagi bisa mendapatkannya. Dia sangat yakin mampu membayar utangnya itu. Apalagi sang menteri ahli utang berbisik semua masih aman.
Di negeri yang dikomandani oleh tukang utang, infrastruktur jadi andalan. Pembagunan jalan digeber, karena jalan tol konon bisa membebaskan masyarakat dari berbagai hambatan sepanjang Anyer – Banyuwangi.
Pembangunan infrastruktur akhirnya terwujud. Namun yang tidak diduga rakyat, ruas-ruas tol baru itu ternyata menyisakan beban utang yang luar biasa. Jalan bebas hambatan yang digadang-gadang bisa menghasilkan uang untuk mengembalikan utang (berserta bunganya, tentu saja), ternyata sama sekali tidak impas. Bahkan untuk membayar bunga utang saja, tidak cukup.
Proyek itu tekor besar. Hingga entah ide darimana, untuk menutup cicilan utang tersebut, bangunan hasil utangan itupun diwacanakan untuk dijual kepada sang pengutang. Mbulet. Begitulah, semua berawal dari terlalu pedenya sang komandan tukang utang.
Utang tak akan lelah menjerat siapapun. Bagi pelakunya, utang hanya nikmat pada saat cair. Besoknya ia akan dituntut kerja keras banting tulang, hanya untuk membayar cicilan. Mudah-mudahan sang komandan segera menyadari tabiat buruk utang. Dan kita sebagai pejuang anti riba, berkewajiban melakukan penyadaran akan tabiat buruk utang dan akibat-akibat fatal di belakangnya. Kepada siapapun, di manapun, dan kapanpun, karena kebiasaan utang telah menjadi wabah di negeri yang mestinya kaya raya ini.