Bagaimana cerita perjuangan pengusaha kuliner ini dalam “menebus” istrinya dari cengkeraman institusi riba?
Makhjudin Zein, “belajar” berutang ketika mulai merintis usahanya di bidang kuliner pada tahun 2010. Saat itu ia masih menjadi wartawan di sebuah harian umum di Semarang.
Debut utangnya tidak besar, “hanya” Rp5 juta dengan jaminan BPKB Motor. Utang sebesar itu ia gunakan untuk membeli gerobak tahu bulat. Usahanya berkembang cepat hingga sempat memiliki 10 gerobak tahu bulat yang membuatnya berani meninggalkan profesi jurnalistiknya di tahun 2012.
Namun tak lama, usaha itu bangkrut karena berbagai sebab. Mulai dari cerita ditipu karyawan, barang hilang dan sebab-sebab tak jelas lainnya. (Di kemudian hari setelah bergabung dengan MTR, ia tersadarkan bahwa bisnisnya di masa itu tidak berkah karena modalnya berasal dari utang riba).
Ketika memulai usaha, pria kelahiran Semarang 19 Juni 1981 ini memang belum banyak mendapatkan informasi mengenai riba. Dalam mindsetnya, satu-satunya cara untuk mendapatkan modal adalah dengan berutang. Hal itu ia jalani, dan makin lama ketergantungannya semakin besar, utangnya pun semakin menumpuk lantaran keinginan untuk mengembangkan usaha juga semakin besar.
Tabiat berutangnya seperti mendapatkan pupuk subur karena kebetulan istrinya merupakan karyawan sebuah bank BUMN, dengan posisi terakhir sebagai Kepala Kantor. Lama-lama, kebiasaan berutang menjadi candu bahkan gaya hidupnya. Saat tidak ada solusi untuk menambah modal, ia sampai meminjam nama saudara untuk berutang. Walau akhirnya lunas, tapi tetap saja berbekas dalam hubungan persaudaraan.
“Bener kata guru kami, ada dua syarat orang berhenti nambah utang. Pertama, dia sadar utang akan menjerumuskan hidupnya. Kedua, dia meninggal dunia,” katanya,.
Awal-awal, Zein masih bisa membayar cicilan Rp8.8 juta/bulan dari total utang Rp800 juta. Namun lama-lama ia merasa ada ketidakadilan setelah menghitung-hitung, bonus yang diterima istrinya kemungkinan besar berasal dari bunga yang ia setorkan (sebagai kreditur) beserta cicilan pinjaman.
Sampai pada suatu titik, ia tersadarkan bahwa hamper tidak ada benefit yang ia dapat dari berutang. Dari pinjaman sejumlah Rp90 juta dari bank tempat istri bekerja, ia menerima Rp86 juta (karena dipotong berbagai biaya dan cicilan pertama). Kekecewaan itu masih berlanjut karena setelah mencicil sampai Rp40 juta, sisa pinjaman yang harus ia lunasi masih sebesar Rp91 juta! Pelunasan yang lebih besar dari pinjaman awal itu terpaksa dilakukan saat ingin top up (menambah) utang untuk keperluan bisnis. Sampai di situ, sebagai nasabah Zein merasa semakin diperlakukan tidak adil.
Zein dan istri bukannya tidak menyadari pengaruh tabiat buruk utang. Mereka juga berupaya “sembuh” dari penyakit tersebut, antara lain melalui interaksi dengan sebuah komunitas hijrah di tahun 2015. Namun waktu itu, ia merasa belum mendapatkan jalan untuk keluar atas permasalahan utang-utangnya.
Hingga, pada September 2015, ia mengenal MTR (yang waktu itu masih bernama PTR) , melalui pengumuman di grup FB Pak Saptuari. Zein tertarik dan bergabung dalam w.a.g, lalu bersama istri mengikuti pembelajaran di dalamnya.
Tak perlu waktu lama, satu persatu titik utang bisa ia selesaikan. Dalam jangka 2 tahun setelah bergabung dengan MTR, utang yang totalnya mencapai lebih dari Rp800 juta di berbagai titik bisa mereka selesaikan dalam waktu 2 tahunan. Prioritas pelunasan dimulai dari yang terkecil, lalu pelan-pelan selesaikan yang besar. Hingga akhirnya semua lunas termasuk utang karyawan dari kantor istrinya.
Seperti cerita-cerita warga MTR alumnus LUM (lunas utang miliaran), Zein juga mengalami beberapa kisah “unlogic” dalam proses pelunasan utangnya. Saat berazzam melunasi utang karyawan atas nama istrinya yang sebesar Rp 180 juta, entah darimana dalam satu bulan mereka bisa mendapatkan uang Rp100 juta untuk menambah Rp80juta yang mereka miliki di rekening. Melalui keajaiban itu proses resign istrinya bisa berjalan lebih “smooth”, tanpa perlu mangkir karena masih terlilit utang di tempatnya bekerja.
Utang pribadi bisa mereka selesaikan pada bulan Mei 2016, namun utang riba baru bisa diatasi pada akhir 2016 kjarena,”Istri masih saya gadaikan di tempatnya bekerja,” cetus Zein pahit mengingat masa lalunya.
Menebus Istri yang “Digadaikan”
Apa maksud digadaikan? Zein menjelaskan, mayoritas pegawai perbankan biasanya akan diikat tempat kerjanya dengan utang yang sepintas terkesan “berbunga ringan”, namun secara hitung-hitungan sebenarnya justru berat. Pasalnya, jangka waktu (tenor) yang diberikan biasanya Panjang, bisa puluhan tahun bahkan bisa sampai masuk masa pension. Selain itu ada syarat khusus, seorang pegawai bank tidak diperkenankan resign sebelum utangnya dilunasi.
Selain itu, posisi sebagai Kepala Kantor bank menuntut pengorbanan tidak sedikit. Berangkat pagi, pulang malam bahkan tidak jarang perintah pekerjaan datang tengah malam. “Istri saya maulai merasakan tekanan pekerjaan semakin meningkat dan tidak masuk akal,” ujarnya.
Zein mengakui, kondisi tersebut sangat mengganggu keadaan rumah tangganya. Istri berangkat kerja jam 6 pagi, pulang pukul 6 sore, bahkan sampai pukul 12 malam di hari keramat pada akhir bulan atau akhir tahun saat waktunya laporan tahunan harus masuk. “Harmonis? Wew, jauh,” ujarnya.
Zein memiliki banyak cerita epic terkait “pengorbanan” karyawan bank terhadap institusinya. Pernah ketika hari Idul Adha jatuh pada akhir bulan, saat umat muslim seharusnya libut dan bergembira dalam hari raya yang pada hakekatnya merupakan moment pendistribusiann harta dari si kaya kepada si miskin, seorang karyawabi bank justru disuruh berangkat kerja menagih utang. “Akibatnya sepanjang jalan ia menangis merasakan beratnya beban yang harus ia tanggung,” kisahnya.
Ada juga karyawan bank yang nekat ambil utang untuk nombokin kredit macet demi menutup target menurunkan angka NPL (Non Performing Loan). Namun tragisnya, meski sudah ditomboki melalui utang, nasabah yang punya utang tetap sukar ditagih.
Hijrah Bersama Komunitas Aneh MTR
Yup, MTR merupakan awal hijrah Zein dan istrinya. Setelah ikut dalam satu seminar MTR, sang istri langsung melakukan action dengan mengajukan surat resign kerja di tempatnya berkarir selama 11 tahun terakhir. “Tanpa tapi tanpa nanti,” kata Zein. Sejak perjalan hijrah itu pula, Zein dan istri terus menerus berupaya memperbaiki kualitas hidup keluarga meunju tujuan akhir setelah kehidupan di dunia ini.
“Jadi kalau dulu istilahnya hidup untuk cari rupiah saja, sekarang kami hidup untuk mencari berkah, merawat anak-anak di rumah. Ini benar-benar berkah tak ternilai. Karena sesungguhnya, istri itu adalah tulang rusuk, bukan tulang punggung,” lanjutnya.
Awalnya, Zein menganggap MTR adalah komunitas aneh, karena di saat orang sibuk mengincar utang, warga komunitas ini malah sibuk menyadarkan orang agar menjauhi utang. Walaupun tidak diharamkan, namun alam komunitas ini ditanamkan kesadaran bahwa utang adalah tabiat buruk yang mengakibatkan kegelisahan di malam hari dan rasa terhina di siang hari. Apalagi jika tabiat itu juga sudah mewujud menjadi attitude buruk seperti ingkar jika berjanji dan dusta jika berucap.
Bahkan lebih tragis lagi, utang bisa membuat kita bangkrut di akhirat. Pasalnya jika sampai mati utang belum dibayarkan, maka perhitungan pembayaran di hari akhir nanti adalah melalui amal shalih yang kita miliki.
“Nah, kita hidup di dunia ngapain dong kalo endingnya nanti bangkrut dan masuk neraka. Mending nyaman hidup tanpa utang di dunia, daripada bankrut nanti di akhirat?” ujarnya.
Utang menurutnya hanya perkara mindset. Kalau kita sudah pantas mendapatkan pertolonganNya, insyaALLAH mudah. Di MTR, kita diperbaiki cara pandang terhadap hidup ini. Darimana berasal, untuk apa, mau kemana setelah meninggal.
Zein sepakat bahwa MTR adalah komunitas yang mencerdaskan kehidupan umat. Saat masih liputan sebagai wartawan dan menemukan berbagai permasalahan dalam kehidupan masyarakat, ia sering bertanya-tanya namun tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Namun di MTR-lah ternyata pertanyaan-pertanyaan itu mendapatkan jawaban.
MTR telah mengajarkan kepada kita supaya memahami problematika umat Islam, memberikan pencerahan terhadap orang-orang yang dulunya terlilit utang hingga bisa lunas utang miliaran. Melalui jalan hijrah MTR pula, warga diajak menuju kehidupan berkah, berkelimpahan, berkecukupan, ***