© Ummu Hamima
Duduk bersandar, seorang ibu paruh baya mengawali ceritanya tentang sebuah negeri antah berantah. Anaknya yang mulai beranjak dewasa, menunggu dengan tidak sadar dongeng yang akan keluar dari mulut ibunya.
“Nak, dengarkan cerita ibu, ya. Tapi jangan kau sela. Biarkan Ibu selesai, baru engkau boleh bertanya,” ujarnya.
Anak itu mengangguk dan mulailah sang Ibu bercerita.
“Dahulu kala, ada suatu negeri yang dipimpin pemimpin dzalim dan otoriter,” sang Ibu memulai ceritanya.
“Masyarakat di sana sebagian besar Muslim,” lanjutnya. “ Namun karena derasnya pemikiran sekularisme dan juga komunisme, rakyat dilihat tak ubahnya santapan di meja makan, yang diperebutkan untuk membuat kenyang perut-perut mereka..
Tanpa disadari, hidup mereka terbelenggu oleh pemikiran dan gaya hidup hedonis. Mereka tidak sadar, cara hidup itu sudah dirancang sangat lama untuk menghancurkan Islam. Berbagai cara dilakukan untuk merusak generasi bangsa dari semua sisi..”
Sang Ibu menghela nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan ceritanya.
“Tahukah kau, Nak? Semua dongeng dalam cerita itu sudah terjadi di negeri ini. Bayangkan, orang yang berbohong dihargai, yang jujur dimasukkan dalam bui…
Orang yang melakukan kejahatan diberi medali dan yang menyampaikan kebenaran dihukum mati..”
Suara sang Ibu mulai terdengar serak..
“Mereka racuni anak-anak dengan pornografi dan aksi. Mereka suapi wanita dengan fenimisme. Mereka paksa para ibu untuk melacurkan diri mencari materi..”
Suara Ibu tiba-tiba terdengar getas menahan amarah…
“Kaum terpelajarpun mereka sihir menjadi penganut Hak Asasi. Mereka menuntut suatu keadilan dari sistem kufur yang mereka tidak sadari adalah turunan dari musuh islam itu sendiri.”
Sekilas, sang anak melihat mata ibunya berkaca-kaca.
“Namun, Nak.., “ lanjut sang Ibu. “Saat ini, asal kau tahu, sebenarnya masih ada orang-orang sholih yang memperjuangkan tegaknya syariat Islam. “
Dalam lembut suara ibunya, sang anak menangkap secercah kekuatan dan harapan.
“Mereka tegar memperjuangkan tegaknya syariat islam. Mereka tidak rela mati dalam keadaan jahiliyah jika dipundak mereka tidak terdapat baiat dari sang khalifah…
Merekalah para pejuang, Nak.. Tak kenal lelah, tak kenal bosan, dengan jiwa raganya, memperjuangkan kebenaran ilahiyah di negeri 1001 dongeng ini. Negeri dimana kitab suci dianggap sebuah fiksi, dan yang mendengarnya hanya mengangguk-angguk seolah-olah mengerti.”
Masih dengan tatapan menerawang, Sang Ibu kembali menghela nafas berat.
“Nak, para pejuang ini layaknya bintang yang menerangi kegelapan malam menuju cahaya. Keimanan mereka akan Allah, Malaikat, Kitabullah, Rasulullah, hari akhir dan Qodlo dan Qodarullah menghujam bagaikan pedang yang tertancap di hati.”
Si Ibu tiba-tiba mengalihkan pandangannya pada si Anak
“Ingatkah engkau cerita Ibu tentang seorang laki-laki di jaman Rasulullah SAW. Ia tak berdaya, tubuhnya diikat tak bisa bergerak. Detik-detik kematian kian mendekat dan seorang algojo dengan pedang terhunus bersiap memancung kepalanya. … dan ketika pedang itu diayunkan secepat kilat ke leher lelaki itu, darah bercucuran membasahi bumi…
Ingatkah kau nama lelaki itu, Nak? Harits bin Umair al-Azdi. Beliau adalah utusan Rasulullah yang ditugaskan mengirim surat kepada Gubernur Basrah Syahrahbil bin Amr al -Ghassani, yang berada dikekuasaan Romawi. Ia telah syahid.
Jangan kau sangka cerita itu sebatas dongeng menjelang tidur. Di sini, negeri 1001 Dongeng ini sekarang, ancaman-ancaman seperti itu juga ada didepan mata para pejuang Islam!”
Si anak gelisah. Ia tak tahan untuk bertanya.
“Maaf Iibu, aku harus bertanya.. panas rasanya hati ini, bu. Apakah saat itu Rasul masih ada? Kemanakah khalifah saat itu? Tidak adakah yang menjamin keselamatan mereka?”
Sang Ibu mengelus kepala anaknya, lembut.
“Tidak Nak, Rasulullah SAW sudah lama meninggalkan mereka. Tidak ada khalifah saat itu dan sudah 95 tahun mereka hidup tanpa kepemimpinan khalifah…
Namun para pejuang selalu merindu akan perjumpaan dengan Rasulullah SAW. Mereka berusaha menegakkan syariat Islam sesuai dengan Qur’an dan Sunnah dan hanya berharap akan cinta Allah. Mereka sangat yakin janji Allah yang akan mempertemukan mereka dengan orang-orang yang mereka cintai walaupun belum bisa beramal sholeh seperti yang dicintai.”
Lanjut sang Ibu.. “Ingatkah kau kelanjutan cerita dari meninggalnya Harits bin Umair?”
Anak itu menjawab, “Tentu ibu, para asatidz selalu menyampaikan kepada kami.
‘ Saat dimana Rasulullah mengirimkan para sahabat terbaik dalam Perang Mu’tah. Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib dan Abdullah bin Rawahah yang syahid pada Perang MU’TAH. Mereka berperang tanpa didampingi baginda Rasullullah SAW .
Dari sisi jumlah, mereka tahu akan sulit menghadapi musuh. Namun walaupun jumlah mereka tak sepadan, satu hal yang mereka yakini adalah hanya ada salah satu dari 2 kebaikan : ‘ kemenangan atau mati syahid”
“Ya betul nak.” Ibupun melanjutkan ceritanya.
“Para pejuang Islam.. para pengemban risalah gagah berani menyampaikan kebenaran tentang indahnya hidup dalam aturan Islam dalam khilafah dipimpin seorang khalifah. Layaknya Zaid bin Haritsah sebelum berangkat perang, beliau bangkit, mandi, berselimutkan kafan, mengucap selamat tinggal pada dunia untuk menyongsong surga. Dan syahid dengan sebuah tombak menembus tubuhnya.“
“Disusul Ja’far bin Abi thalib yang mempertahankan panji perang dengan tangan kanan dan kiri yang putus, dipindahkannya ke pangkal lengan dan tak lama pangkal lengan kanan dan kiripun terbabat senjata musuh. Di tengah aliran darah dari tubuhnya, ia terus maju mempertahankan panji Rasulullah SAW seraya mendendangkan syair : ’betapa indah dan betapa dekat surga..’
…. dan Romawi telah mendekati azabnya ….hingga 90 anak panah menghujaninya dan ia pun gugur syahid.
…Tak sempat jatuh ke tanah, panji Rasulullahpun segera disambar oleh Abdullah bin Rawahah, sampai akhirnya tusukan pedang bersarang di tubuhnya. Lalu Tsabit bin Arqam segera mengambil panji untuk diserahkan kepada Khalid bin Walid. Inilah kali pertama Khalid bin Walid memimpin peperangan dalam pasukan Islam…”
Suara ibu terdengar bergetar. Lanjutnya kemudian..
“Tak kalah dengan para sahabat, begitu pulalah jiwa para pejuang Islam di masa adanya negeri 1001 dongeng ini. .
Tanpa didampingi oleh Rasulullah SAW, tanpa khalifah yang melindungi, mereka pertaruhkan jiwa raga sebagai pembuktian cinta kepada Rabb sang Pencipta langit dan bumi.”
Sang anakpun bertanya, “Siapakah mereka wahai ibu, para pejuang yang gagah berani itu?”
Lirih jawab sang Ibu, “Mereka adalah kakek nenekmu.. yang memulai hijrah dengan memerangi riba bersama komunitas Masyarakat Tanpa Riba. Dan melanjutkan perjuangan menegakkan Islam tanpa takut akan kehilangan dunia.
Merekalah keluarga Rasulullah SAW. Para kekasih Allah yang sesungguhNya. Yang tetap memegang teguh Qur’an dan Sunnah bagaikan menggenggam bara api.”
Lengang. Kedua anak beranak itu tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Dari ujung kampung, tiba-tiba terdengar takbir berkumandang memecah sunyi malam. Para Wali mengumumkan dan menyampaikan salam dari Khalifah bahwa esok adalah hari Idul fitri yang pertama di bawah khilafah.
Hari kemenangan yang sebenarnya! Tidak seperti Idul Fitri di negeri 1001 Dongeng yang berubah menjadi hari duka. Syukur dan doapun terpanjatkan selalu untuk para pejuang yang mengupayakan tegaknya khilafah saat itu.
Begitulah cerita seorang ibu kepada anaknya, kisah tentang Negeri 1001 Dongeng.
Seperti apa kelak kita ingin dikenang oleh anak cucu kita? Sebagai penonton atau sebagai pemain? Sebagai pecundang atau sebagai pemenang? Sebagai pengkhianat atau pejuang islam? Pilihan ada pada diri kita masing-masing. Pantaskan diri selalu menjadi PejuangNya.
Semoga Allah selalu melindungi para pengemban risalah negeri 1001 dongeng hingga saatnya Khalifah hadir dan kemenangan pun datang.