Jembatan yang baru satu pekan diresmikan Bupati hanyut terbawa banjir bandang. Leasing dan bank melayangkan lirikan tajam penuh ancaman. Semua karena maksiyat riba.
Berbagai kesulitan yang datang beruntun menjadi titik balik Erik Hariyadi Sitepu (yang akrab kita sapa sebagai Coach Erik) untuk kembali bersandar kepada aturan Allah, terutama dalam menjalankan bisnis-bisnisnya. Ia mendapatkan kesadaran, bahwa kesulitan demi kesulitan yang ia alami selama ini, penyebabnya adalah berbagai maksiyat yang tanpa sadar telah ia lakukan.
Erik Hariyadi Sitepu, lulusan Teknik Elektro Universitas Sumatera Utara, mulai membangun PT Hesa Parama dan CV Tiga Jumpa pada tahun 1999 dengan modal awal dari orang tua. Perusahaan ini bergerak di bidang elektrikal dan mekanikal gedung, serta pabrik kelapa sawit.
Awalnya ia hanya mampu membukukan omset rata-rata Rp3 juta per bulan. Namun setelah satu tahun berjalan, usahanya mulai berkembang. Pada saat itulah, keluarga dan teman-temannya memberi saran agar ia berutang ke bank untuk memperbesar modal kerja.
Berbisnis dengan modal utang dari bank, mulanya Erik merasa baik-baik saja. Oleh karenanya, ia memberanikan diri mencoba bisnis tambang batu bara. Mereka diberikan kepercayaan oleh pemilik Konsesi Penambangan PT. Bara Prima untuk menjadi operator tambang di Kabupaten Indragiri Hilir Riau. Karena kegiatan tambang masih baru, mereka menggunakan truk-truk dan alat berat hasil sewaan.
Dalam tempo satu tahun usaha tambang tersebut menguntungkan. Tim Erik pun makin bersemangat karena melihat peluang yang luar biasa bagus.
Pihak Bank pun mulai melayangkan lirikan mautnya. Mereka menawarkan modal kerja yang jauh lebih besar dari Kredit Modal Kerja (KMK) yang pernah diberikan. Selain itu, anak perusahaan mereka yang bergerak di bidang leasing juga siap mendukung pendanaan untuk pembelian truk dan alat berat. Mereka membujuk Erik dkk untuk memiliki sendiri semua peralatan tambang dengan cara leasing.
Hitung punya hitung, memiliki peralatan tambang dengan cara kredit melalui leasing terlihat lebih menguntungkan ketimbang sewa. Karena itu, Erik pun memutuskan untuk menerima tawaran leasing.
Merasa percaya diri mendapatkan dukungan dana dari bank dan leasing, Erik pun tergiur untuk melakukan ekspansi lebih luas. Ketika ada peluang untuk memiliki tambang di Sumatera Barat, ia memutuskan untuk mengakuisi 80% kepemilikan dari pemilik konsesi. Tentu saja dananya dari hasil utang bank lagi.
Karena sudah memiliki tambang sendiri, Erik memutuskan untuk focus kepada pengelolaan tambang di Sumatera barat, dan tidak memperpanjang lagi kontrak di Indragiri Hilir. Ia pun mulai membangun infrastruktur jalan dan prasarana tambang di sana. Di sini ia butuh tambahan suntikan dana. Dan lagi-lagi pihak Bank datang sebagai juru selamat, dengan menaikkan plafon KMK.
Namun, rencana yang dibuat sedemikian rupa ternyata tidak berjalan mulus. “Kami mendapat hambatan di lapangan, terutama dari masyarakat setempat yang menuntut terlalu banyak, dan bahkan tidak masuk akal,” kisah Erik.
Masalah semakin bertambah ketika mereka mulai kesulitan membayar cicilan. Pihak leasing mulai tidak bersahabat. Senyuman yang dulu ditebar lenyap sudah. Tekanan juga datang dari pihak bank yang mulai cemas karena plafon pinjaman sudah mentok dan Erik mulai kesulitan membayar bunga.
Hingga puncaknya, jembatan yang mereka bangun untuk menghubungkan dua desa dan baru satu minggu diresmikan Bupati Lima Puluh Kota Sumbar hanyut dilanda banjir bandang.
“Sampai di situ saya bertanya pada diri sendiri, apa yang salah sehingga masalah datang bertubi-tubi?” kisah pria kelahiran 5 Juni 1975 ini.
Erik merasa semakin stres karena hubungan dengan keluarga menjadi terganggu. Sedikit saja ada masalah yang terlihat tidak beres di matanya, keluarlah kata-kata pedas yang sebenarnya juga tidak ia kehendaki terlontar. Ayah tiga anak dari muslimah bernama Elly Nurlinda ini merasa tidak nyaman dengan perangai dirinya sendiri.
Perkenalan dengan MTR
Jauh sebelum MTR terbentuk, Erik sudah mengenal Gerakan Hidup Berkah saat mengikuti seminarnya di Hotel Ibis Pekanbaru tahun 2009. Di sana, Erik menemukan jawaban apa yang menjadi penyebab kesulitan demi kesulitan yang ia hadapi, termasuk dalam aktivitas bisnis.
“Saya mulai sadar, kesulitan demi kesulitan yang saya alami selama ini, penyebabnya adalah adanya maksiyat tanpa sadar terus saya lakukan. Saat itu juga saya menemukan kesadaran, bahwa semua aktivitas dalam hidup mestinya hanya bersandar pada aturan Allah,” paparnya.
Begitulah, Erik kemudian memutuskan untuk mengikuti aliran perjalanan komunitas anti riba ini. Mulai dari transformasi Gerakan Hidup Berkah menjadi Pengusaha Tanpa Riba (PTR) yangh kemudian bertransformasi laga menjadi Masyarakat Tanpa RIba (MTR). Dalam perjalanan mengikuti GHB sampai MTR itu, ia merasa menemukan tujuan hidup yang jelas, bahwa kita harus mendedikasikan semua yang dilakukan semata-mata hanya untuk Allah SWT.
Sebelumnya, dalam pikiran Erik, yang namanya ibadah itu sebatas sholat, puasa, sedekah, haji. Namun dalam arus perjalanan MTR, ia menjadi paham bahwa semua aktifitas yang dilakukan harus bernilai ibadah.
Berangkat dari pemahaman tersebut, Erik kemudian meninggalkan segala bentuk kemaksiyatan, termasuk melepaskan diri dari jerat utang riba yang sempat ia yakini menjadi juru selamat usaha. Untuk menutup utang yang masih ada, ia jual asset yang ada dan minta dukungan dari para supplier. Erik mulai melepaskan kemelekatan harta yang awalnya terasa begitu kuat.
Dan ternyata, seperti yang selalu ia lontarkan dalam materi-materi coachingnya dalam seminar MTR, begitu memutuskan tidak mengambil utang lagi sebagai sarana pengembangan bisnis, ide-ide bermunculan. Jurus mengatasi masalah utang dengan utang baru seketika menjadi out of date.
Dari luar orang mungkin melihat bisnis Erik saat itu sudah hancur lebur. Namun di dalam, ia justru tengah menemukan esensi hidup yang sebenarnya. Di MTR, Erik merasa menemukan energi yang besar karena para pegiat selalu saling support sehingga masing-masing tidak merasa sendirian terutama ketika mengatasi problema utang.
Dalam kondisi bisnis yang berada pada titik nadir seperti itu, Erik dengan besar hati mendatangi beberapa supplier. Ia menceritakan kondisi perusahaan dan meminta mereka untuk menjadwal ulang pembayaran utang yang ada. Seperti utang pembelian BBM, pembelian spare part alat berat, dan material pendukung tambang lainnya. Ia juga berterus terang bahwa mulai saat itu sudah tidak mendapatkan support dari bank lagi.
“Alhamdulillah sebagian besar supplier mengerti kesulitan kita. Mereka bersedia reschedule pembayaran utang dari 1 tahun sampai 2 tahun, bahkan tetap bersedia mendukung dengan supply material baru yang kita butuhkan dengan tempo pembayaran 3 bulan,” ujarnya lagi.
Dengan pola seperti itu, akhirnya pada tahun 2013 Erik benar-benar sudah bebas utang.
Oleh karena itu, kepada sesama pengusaha yang masih berkelindan dengan problem utang, ia mengundang untuk bergabung dengan MTR. “Hubungi pegiat yang ada di hamper seluruh kota besar di Indonesia. Sapa mereka dan ikuti kegiatan TPW MTR (Temu Pengusaha dan Warga MTR) , insyaAllah teman teman MTR akan dengan ceria dan gembira menyambut anda.”
Umat Terlalu Besar untuk Mimpi Kecil
Dan jika kini Anda menemukan coach Erik H Sitepu mampu memancarkan semangat lunas utang kepada segenap peserta seminar MTR, maka ilmu yang sedang ia tularkan itu adalah hasil dari pengalaman nyatanya.
Menurutnya, syarat perubahan harus dimulai dari perubahan pola pikir. Untuk itu kepada para pengusaha yang masih berkelindan dengan problem utang, ia mengajak untuk menengok ke dalam. Berapa banyak kesalahan fatal yang telah dilakukan dalam rangka mengembangkan bisnis dengan utang.
“Itu adalah fakta yang bisa dirasakan oleh pengusaha yang berutang. Belum lagi tabiat buruk utang yang tentu melekat kepada para pengusaha tersebut,”tegasnya.
Kesadaran mengenai bahaya utang, jelasnya, akan terbentuk ketika kita paham status utang dalam Islam dan tabiat buruk yang ditimbulkan bagi penderitanya.
Dalam skala lebih luas, Erik menemukan cara pandang baru dalam kiprahnya di MTR. “Utang hanyalah pintu masuk di MTR. Alangkah egoisnya kita kalau hanya mimpi lunas utang. Umat ini terlalu besar untuk mimpi kecil. Di MTR saya belajar bahwa seharusnya kita juga berkontribusi untuk kebangkitan umat.”
Dan itulah peran yang sekarang berusaha diambil oleh para pegiat MTR; peran dakwah, peran mulia yang diemban para nabi dan rasul dalam rangka menolong agama Allah. Sebuah jalan mulia untuk menempuh kehidupan. Apalagi, lanjut Erik, ada janji Allah bahwa ketika kita menolong agamaNya, maka Allah akan menolong kita.
“Komunitas MTR ini adalah komunitas yang mulia dan akan memuliakan para pegiatnya. Syaratnya, tentu saja harus saling mencintai karena Allah, berjuang bersama juga karena Allah,”pungkasnya.