• Latest

PENYALAHGUNAAN QAIDAH FIQH UNTUK MENGIKUTI PEMILU

02/07/2018

Keberpihakan

04/11/2020

Kafir setelah Beriman

04/11/2020

PBTR (2), Saatnya Situasi Berbalik Mendukung Proses Lunas Utang

02/11/2020

Utang Lunas 4 Bulan Pasca PBTR Pertama

02/11/2020

Syaiful Hidayat, Berkah Lunas Utang Miliaran untuk Orang Tua

31/10/2020

Renungan Maulid Nabi Muhammad SAW

30/10/2020

Reaksimu, Bukti Cintamu pada Rasul

30/10/2020

PBTR (1), Level Teknis Pembelajaran Lunas Utang

02/11/2020

Menjadi Pejuang yang Dicintai Allaah

27/10/2020

Belajar Menjala Matahari sambil Merunduk ke Bumi

27/10/2020

Azzam Lunas Utang Miliaran Terkabul Setahun 22 Hari

26/10/2020

Iman dan Taqwa, Kunci Solusi Problema

26/10/2020
Minggu, April 18, 2021
Masyarakat Tanpa Riba
  • BERANDA
  • MTR MILIARDER CLUB
  • LUNAS UTANG MILIARAN
  • BUKU MERAH
  • EVENT
    • All
    • BeMiMS
    • CCKU
    • MBUBB
    • PBTR
    • SMHTR
    • SPI
    • TTFM

    PBTR (2), Saatnya Situasi Berbalik Mendukung Proses Lunas Utang

    PBTR (1), Level Teknis Pembelajaran Lunas Utang

    Mendidik Generasi Pembuka Roma

    New Normal, atau Kembali ke Hukum Syara?

    Misteri ASI dan Karakter Kesatria Agung

    KALAU BISA MELIPATGANDAKAN PENGHASILAN,..

    AFTER BDO FREE, SO WHATS NEXT…

    Becoming Master in Marketing and Selling

    MELUNASI UTANG TANPA BAYAR RIBA

    Saat Umara Terjerat Utang Riba

    Trending Tags

    • HUBUNGI KAMI
    No Result
    View All Result
    • BERANDA
    • MTR MILIARDER CLUB
    • LUNAS UTANG MILIARAN
    • BUKU MERAH
    • EVENT
      • All
      • BeMiMS
      • CCKU
      • MBUBB
      • PBTR
      • SMHTR
      • SPI
      • TTFM

      PBTR (2), Saatnya Situasi Berbalik Mendukung Proses Lunas Utang

      PBTR (1), Level Teknis Pembelajaran Lunas Utang

      Mendidik Generasi Pembuka Roma

      New Normal, atau Kembali ke Hukum Syara?

      Misteri ASI dan Karakter Kesatria Agung

      KALAU BISA MELIPATGANDAKAN PENGHASILAN,..

      AFTER BDO FREE, SO WHATS NEXT…

      Becoming Master in Marketing and Selling

      MELUNASI UTANG TANPA BAYAR RIBA

      Saat Umara Terjerat Utang Riba

      Trending Tags

      • HUBUNGI KAMI
      No Result
      View All Result
      Masyarakat Tanpa Riba
      No Result
      View All Result
      Home Umum

      PENYALAHGUNAAN QAIDAH FIQH UNTUK MENGIKUTI PEMILU

      in Umum
      6 min read
      246
      0
      Share on FacebookShare on TwitterWhatsapp

      Oleh: KH. M Shiddiq Al Jawie

      Biasanya, menjelang Pemilu akan berseliweran di pelbagai media berbagai justifikasi agar umat Islam terlibat dalam Pemilu. Sebagiannya menggunakan kaidah-kaidah fikih (al-qawa’id al-fiqhiyyah). Misalnya kaidah adh-dharurah tubih al-mahzhurat, yang berarti kondisi darurat membolehkan hal-hal yang diharamkan. Maksudnya, keikutsertaan umat dalam Pemilu dalam sistem demokrasi sekarang, diakui hukum asalnya haram. Pasalnya, Pemilu Legislatif berarti memilih wakil rakyat yang di parlemen akan melegislasi hukum kufur, bukan hukum syariah Islam.

      RelatedPosts

      Insan O,5

      Masyarakat Tanpa Riba Makin Nyata

      Cerita Lunas Utang & Bebas BDO dari Bukittinggi

      Namun kemudian, ada pertimbangan, Pemilu dalam sistem demokrasi saat ini adalah darurat sehingga akhirnya dibolehkan. Alasannya, kalau tidak memilih (alias golput) akan menimbulkan kemadaratan yang lebih besar, yaitu dominasi orang kafir atau pihak yang tidak menghendaki umat Islam kuat. Sebaliknya, dengan memilih, kemadaratannya lebih kecil. Menurut mereka, ini sesuai dengan kaidah fikih yang berbunyi: Yukhtaru ahwanus-syarrayn(dipilih kemadaratan yang paling ringan dari dua kemadaratan yang ada).

      Kaidah Fikih dan Rambu-rambunya

      Kaidah fikih dalam kitab-kitab ushul fikih disebut dengan beragam istilah, namun maksudnya secara garis besar sama. Kadang disebut al-qawa’id al fiqhiyyah, atau al-qawa’id asy-syar’iyyah, atau al-qawa’id al kulliyah. Menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhani, kaidah fikih adalah :

      اَلْحُكْمُ الشَّرْعِيُّ الْكُلِّيُّ الْمُنْطَبِقُ عَلىَ جُزْئِيَّاتِهِ

      Hukum syar’i yang bersifat menyeluruh (kulli) yang berlaku untuk bagian-bagiannya (juz’iyat) (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, III/444).

      Definisi tersebut menjelaskan bahwa kaidah fikih mempunyai dua sifat utama. Pertama: kaidah fikih sebenarnya adalah hukum syar’i, yang di-istinbath dari dalil-dalil syar’i. Artinya, kaidah fikih sebenarnya bukan dalil syar’i (sumber hukum), melainkan hukum syar’i itu sendiri. Kedua: kaidah fikih merupakan hukum kulli, yakni hukum yang berlaku untuk banyak kasus (juz’iyyat), bukan berlaku untuk satu kasus saja (Taqiyuddin An-Nabhani, Izalah al-Atribah ‘anil Judzur, hlm. 1-2).

      Misalkan kaidah fikih yang berbunyi: Ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu. (Apa yang tak dapat dijangkau semuanya, tidak ditinggalkan semuanya). Kaidah ini di-istinbath dari sejumlah dalil syar’i yang mewajibkan kaum Muslim untuk melaksanakan suatu taklif syariah semaksimal mungkin, di antaranya sabda Rasulullah saw.:

      إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

      Jika aku memerintahkan kalian dengan suatu perkara maka lakukan itu sekuat kemampuan kalian (HR Bukhari dan Muslim). (Lihat Iman Abdul Majid Al Hadi, Qa’idah Al-Maysur La Yasquthu bi al-Ma’sur, hlm. 77).

      Kaidah ini tak hanya dapat diberlakukan pada satu kasus, tetapi banyak kasus. Misalnya, jika seseorang punya utang Rp 10 juta, tetapi hanya mampu membayar Rp 5 juta, maka tak boleh dia tak membayar utang sama sekali. Dia wajib membayar walau hanya Rp 5 juta.

      Contoh lain, jika seorang murid/mahasiswa harus menguasai 10 bab ilmu untuk ujian, sedangkan dia hanya mampu menguasai 7 bab saja, maka dia wajib menguasai yang 7 bab itu. Tidak boleh dia menyerah dan tidak menguasai satu bab pun. Demikian seterusnya.

      Meskipun kaidah fikih bukan dalil syar’i (sumber hukum), ia dapat diamalkan seperti halnya dalil syar’I; maksudnya, dapat menjadi dasar bagi penetapan hukum-hukum syariah baru. Hanya saja hukum-hukum syariah baru ini bukan hukum syariah yang sama sekali baru, seperti halnya hukum hasil ijtihad, melainkan sekadar cabang hukum dari hukum pokok yang sudah ada (yaitu kaidah fikih itu sendiri).

      Jadi pengamalan kaidah fikih hakikatnya adalah mencabangkan hukum syariah, yang diistilahkan at-tafrii’ ‘ala al hukm asy-syar’i oleh Imam Taqiyuddin an-Nabhani (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, III/443).

      Menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhani, pengamalan kaidah fikih ada rambunya, yaitu disyaratkan tidak boleh bertentangan dengan nash-nash syariah dalam al-Quran dan as-Sunnah. Jika pengamalan suatu kaidah fikih bertentangan dengan nash-nash syariah maka yang diamalkan adalah nas syariah, sedangkan kaidah fikihnya wajib diabaikan, yakni tidak boleh diamalkan. Hal itu karena pengamalan kaidah fikih kedudukannya sederajat dengan pengamalan Qiyas. Jika Qiyas bertentangan dengan nash al-Quran dan as-Sunnah, yang wajib diamalkan adalah nas al-Quran dan as-Sunnah, sedangkan Qiyasnya dikalahkan dan tidak boleh diamalkan (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, III/449).

      Penyalahgunaan Kaidah Darurat

      Tidak dibenarkan menggunakan kaidah darurat untuk menjustifikasi keikutsertaan dalam Pemilu Legislatif.

      Alasannya ada dua.
      Pertama:
      Pengamalan kaidah darurat tersebut tidak sah karena bertentangan dengan nas-nas syariah yang mengharamkan fungsi legislasi dalam sistem demokrasi saat ini. Pemilu Legislatif dimaksudkan untuk memilih anggota parlemen yang tugas utamanya adalah melakukan legislasi. Legislasi di parlemen haram karena legislasi ini hakikatnya adalah memberikan hak tasyri’(penetapan hukum) kepada selain Allah, sesuai prinsip kedaulatan rakyat dalam demokrasi.

      Padahal dalam Islam hak tasyri’ hanyalah milik Allah saja, bukan yang lain (M. Ahmad Mufti, At-Tasyri’ wa Sann al-Qawanin fi ad-Dawlah al-Islamiyyah, hlm. 6 & 38).
      Nas-nas syariah dengan tegas membatasi hak tasyri’ sebagai hak milik Allah SWT saja (QS al-An’am [6] : 57). Karena itu wajar jika orang yang membuat hukum sendiri tanpa merujuk pada wahyu Allah disebut sebagai “tuhan-tuhan” selain Allah, karena dia telah menandingi hak Allah sebagai Pembuat Hukum (Al Musyarri’) (Lihat: QS at-Taubah [9] : 31).

      Dengan demikian, jelas penggunaan kaidah darurat untuk menjustifikasi keterlibatan umat dalam Pemilu adalah batil. Pasalnya, kaidah darurat merupakan bagian kaidah fikih yang syarat penerapannya tidak boleh bertentangan dengan nas-nas syariah dalam al-Quran dan as-Sunnah.

      Kedua:
      Karena kondisi daruratnya sendiri tidak ada sehingga tidak sah mengamalkan kaidahadh-dharurah tubih al—mahzhurat (kondisi darurat membolehkan hal-hal yang diharamkan) untuk menjustifikasi keterlibatan umat dalam pemilu. Darurat menurut Imam Suyuthi adalah sampainya seseorang pada suatu batas yang jika dia tidak melakukan yang dilarang, maka dia akan mati atau mendekati mati (misal kehilangan anggota tubuh seperti tangan, kaki, dsb).

      Contohnya boleh makan bangkai atau minum khamer bagi orang yang kalau tidak segera makan/minum dia akan terancam mati (Imam Suyuthi, Al-Asybah wa an-Nazha’ir, hlm. 84-85). Definisi darurat Imam Suyuthi itu semakna dengan definisi darurat menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhani, yaitu keterpaksaan yang sangat (al-idhthirar al-mulji’) yang dikhawatirkan akan dapat menimbulkan kematian (Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, III/483). Jadi definisi darurat itu terbatas pada kondisi yang mengancam jiwa.

      Inilah definisi darurat yang disepakati ulama empat mazhab, yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali (Wahbah Zuhaili, Mawsu’ah al-Fiqh al-Islami, X/427).

      Dengan demikian, jika kondisi yang ada tidak sampai mengancam jiwa, misalnya sekadar kehilangan kesempatan menjadi presiden, anggota DPR, atau anggota kabinet, jelas bukan kondisi darurat. Kondisi darurat dalam arti terancamnya jiwa sama sekali tidak terwujud ketika umat Islam tidak memilih dalam Pemilu. Apakah kalau umat Islam tidak memilih dalam Pemilu lantas terancam jiwanya? Tidak, bukan?

      Persoalannya, para masyasyikh muta’akh-khirin (ulama kontemporer) ternyata cenderung melonggarkan definisi darurat. Darurat didefinisikan secara luas bukan hanya kondisi yang mengancam jiwa, tetapi juga mengancam hal-hal selain jiwa, seperti harta, akal, dan sebagainya (Wahbah Zuhaili, Mawsu’ah al-Fiqh al-Islami, 10/428-429).

      Jadi seorang pegawai yang terancam dipecat oleh atasannya dapat dikategorikan dalam kondisi darurat, karena terancam hartanya (tak lagi gajian). Jika definisi darurat yang longgar seperti ini yang dipakai, memang logis kalau Pemilu dianggap darurat. Mungkin mereka menganggap dominasi kaum liberal/sekular dalam parlemen adalah kondisi darurat jika umat tidak memilih. Dengan tak memilih, umat akan terancam, meski bukan terancam nyawanya, tetapi mungkin terancam kepentingannya.

      Padahal definisi darurat yang longgar itu tak dapat diterima. Menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhani definisi itu justru tidak sesuai dengan nash al-Quran yang menjadi sumber atau dasar definisi darurat. Misalnya, QS al-Baqarah ayat 173 jelas membatasi kondisi darurat hanya pada kondisi yang mengancam jiwa, bukan mengancam hal-hal lain di luar keselamatan jiwa (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, III/483).

      Penyalahgunaan Kaidah Akhaffu Dhararayn

      Kaidah Akhaffu Dhararayn artinya adalah seorang Muslim boleh memilih bahaya (dharar) yang paling ringan dari dua bahaya yang ada. Kaidah ini pengertiannya sama dengan kaidahYukhtaru ahwanus-syarrayn yang telah dijelaskan di atas (M. Shidqi al-Burnu, Mawsu’ah al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, XII/349).

      Kaidah ini biasanya digunakan untuk menyikapi adanya dua bahaya yang diasumsikan akan menimpa umat dalam konteks Pemilu.

      Pertama:
      Bahaya kecil ketika umat Islam terlibat dalam demokrasi. Kedua: bahaya besar ketika umat Islam tidak terlibat dalam demokrasi, yaitu akan adanya dominasi orang kafir di parlemen atau kabinet, yang dapat mengancam kepentingan atau aspirasi umat Islam.

      Penggunaan kaidah Akhaffu Dhararayn ini untuk membolehkan umat ikut Pemilu juga tidak dapat dibenarkan, karena beberapa alasan. Pertama: pengamalan kaidah tersebut secarasyar’i tidak sah karena tidak memenuhi syaratnya, yaitu tidak boleh bertentangan dengan nash-nash al-Quran dan as-Sunnah. Sudah dijelaskan bahwa banyak nas-nas yang mengharamkan fungsi legislasi dalam sistem demokrasi saat ini.

      Kedua:
      Pengguna kaidah tersebut terjebak pada logika jumlah orang (individu), seraya melupakan aspek sistem yang ada. Diasumsikan kalau di parlemen mayoritasnya Muslim, akan baik dan tak berbahaya. Sebaliknya, kalau mayoritasnya non-Muslim akan tidak baik dan berbahaya. Padahal jumlah Muslim atau non-Muslim tidak ada efeknya secara signifikan dalam sistem demokrasi. Pasalnya, dalam sistem demokrasi, UU yang dihasilkan adalah UU kufur, tidak peduli apakah pendukung UU itu mayoritasnya Muslim atau non-Muslim. Bahkan kalaupun UU yang akan dilegislasikan adalah syariah Islam dari segi substansi hukumnya, seperti UU Perkawinan, Zakat, atau Wakaf, tetap saja prosedur legislasinya batil, yaitu tunduk pada suara mayoritas (Muhammad Syakir Syarif, Al-Musyarakah fi al-Barlaman, hlm. 91).

      Ketiga:
      Pengguna kaidah tersebut lupa terhadap fakta konkret, bahwa banyak bahaya yang menimpa umat Islam justru ketika anggota parlemen mayoritasnya Muslim. Sebagai contoh, UU Migas yang disahkan oleh DPR tahun 2001 yang mayoritasnya Muslim. UU Migas ini telah menjadi dasar Perpres (Peraturan Presiden) untuk menetapkan kenaikan BBM yang berkali-kali terjadi. Padahal kenaikan BBM telah terbukti melonjakkan berbagai harga barang dan jasa dan sudah terbukti menaikkan jumlah orang miskin di Indonesia.

      Penyalahgunaan Kaidah Ma La Yudraku Kulluhu La Yutraku Kulluhu

      Kaidah ini berarti apa yang tak dapat diraih semua, jangan ditinggalkan semua. Maksudnya, umat Islam harus ikut Pemilu walaupun tidak bisa mayoritas (meraih semua kursi), jangan sampai tidak ikut memilih sama sekali.

      Penggunaan kaidah ini juga tak dapat dibenarkan karena dua alasan.

      Pertama: kaidah ini tidak sah untuk diterapkan karena tidak memenuhi syarat penerapannya, yaitu tidak boleh bertentangan dengan nas-nas syariah dalam al-Quran dan as-Sunnah. Padahal banyak nas-nas syariah yang telah mengharamkan fungsi legislasi dalam parlemen saat ini.

      Kedua: kaidah tersebut hanya boleh diterapkan pada perbuatan-perbuatan yang halal, tidak boleh diterapkan untuk perbuatan yang haram, seperti legislasi di parlemen saat ini. Hal ini dapat diketahui dari dalil hadis yang mendasari kaidah ini, yaitu sabda Nabi saw., “Jika aku memerintahkan kalian dengan suatu perkara maka lakukan itu sekuat kemampuan kalian.”(HR al-Bukhari dan Muslim). Dari hadis ini dapat diketahui bahwa tidak mungkin Nabi saw. memerintahkan kecuali yang halal menurut syariah.

      Karena itu, tidak boleh menerapkan kaidah tersebut untuk perbuatan yang haram.
      Misalnya, kalau tidak bisa k orupsi 1 miliar, korupsi 500 juta saja. Demikian pula tidak boleh menerapkan kaidah tersebut untuk menjustifikasi keikutsertaan dalam Pemilu Legislatif. Pasalnya, Pemilu ini akan mengantarkan para wakil rakyat untuk melakukan perbuatan yang haram, yaitu melegislasi UU kufur.

      WalLahu a’lam

      Get real time update about this post categories directly on your device, subscribe now.

      Unsubscribe

      Related Posts

      Umum

      Insan O,5

      12/10/2020
      1.5k
      Umum

      Masyarakat Tanpa Riba Makin Nyata

      08/10/2020
      1.7k
      Umum

      Cerita Lunas Utang & Bebas BDO dari Bukittinggi

      07/10/2020
      1.6k
      Umum

      Lelah Boleh, Menyerah Jangan!

      01/10/2020
      1.6k
      Next Post

      MELUNASI HUTANG

      Discussion about this post

      Subscribe Channel MTR TV

      • Trending
      • Comments
      • Latest

      MELUNASI UTANG TANPA BAYAR RIBA

      16/08/2019

      Becoming Master in Marketing and Selling

      19/09/2019

      KALAU BISA MELIPATGANDAKAN PENGHASILAN,..

      18/11/2019

      Terbebas dari Riba Setelah Bergabung di KSW

      0

      Rumahnya mau disita dan dilelang bank, Padahal ini bank Syariah

      0

      ADAB KE-DUA KAMPOENG SYAREA WORLD (KSW)

      0

      Keberpihakan

      04/11/2020

      Kafir setelah Beriman

      04/11/2020

      PBTR (2), Saatnya Situasi Berbalik Mendukung Proses Lunas Utang

      02/11/2020

      Copyright © masyarakattanpariba.com

      No Result
      View All Result
      • BERANDA
      • MTR MILIARDER CLUB
      • LUNAS UTANG MILIARAN
      • BUKU MERAH
      • EVENT
      • HUBUNGI KAMI

      test

      Login to your account below

      Forgotten Password?

      Fill the forms bellow to register

      All fields are required. Log In

      Retrieve your password

      Please enter your username or email address to reset your password.

      Log In