©MY050720|MTRTangerangRaya||
Apakah Anda punya nyali untuk berbisnis besar dengan jujur, tanpa mengandalkan fasilitas keluarga, negara, dan lobi-lobi kebijakan?
Kalau Anda merasa punya kapasitas sebagai pengusaha besar masa depan, tunjukkan nyalimu bagaimana berbisnis besar dengan cara benar.
Sebaliknya…
Bagi sahabat dan siapapun yang hari ini merasa berada pada titik nadir bisnis, percayalah, itu tidak berarti kiamat dan benar-benar buruk bagi usaha Anda. Karena baik dan buruk pada hakikatnya adalah persepsi. Yang dibangun baik oleh diri Anda sendiri maupun orang lain. Baik dan buruk adalah soal subjektifitas personal.
True story…
Era jahiliyah dulu, era tender dan bisnis kebijakan, ada beberapa proyek yang harus kami lepas. Kecewa banget, karena kami PD salah satu “the best” di bidang ini.
Dalam dunia tender aplikasi pendidikan saat itu, nama kami cukup ditakuti. Terakhir malah sudah menjadi musuh bersama. Next time saya cerita itu.
Untung saja kami terbiasa “shadow” dan gak peduli “casing”, yang penting “profit”. Apapun makanannya, minumannya harus dari kami. The true capitalist-lah…
Paham ya maksud saya?
Tapi tetap saja, satu dua hal kami dipepet, ditikung, dan disalib dari belakang. Inilah arena balapan bisnis liar tanpa iman.
Singkat cerita…
Ada beberapa tender yang gagal dan harus kalah. Pada level ini, hal itu bukan soal uang lagi. Ini menyangkut harga diri sebagai ‘the best’ di bidangnya. Ya, ini tentang pembuktian, tentang eksistensi, tentang supremasi.
Kami anggap itu kabar buruk jika harus dikalahkan. Ini bisa jadi penghancur kontrol, perusak reputasi. Kami sangat kecewa, tapi mau apalagi? Kami kalah! Titik!.
Nah, di sini menariknya…
Selang berapa tahun kemudian, terlihat di layar TV. Seseorang memakai baju orange KPK sebagai tersangka suap. Wajah dan namanya gak asing di kuping saya. Bukankah dia rekanan kami yang dulu bermain belakang hingga projek itu gagal?
Hmm…
Ternyata orang yang dulu kami anggap, baik aslinya buruk. Kemudian kami anggap buruk gegara proyek dikalahkan, ternyata kelak justru baik bagi kami. Kami harus mensyukurinya.
Persepsi baik dan buruk bisa berubah seiring dengan perjalanan waktu, karena menyangkut cara pandang dan kesimpulan manusia yang sangat personal sifatnya.
Pantas saja kita disarankan bersabar. Ini berkolerasi dengan waktu tunggu, dan itu butuh stok sabar.
Aku jadi teringat:
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.” (Qs. Al Ashr: 1-3)
Jadi…
Apa yang hari ini kita anggap baik, jangan GR dulu itu baik. Hari ini yang Anda anggap buruk pun jangan juga terlampau sedih. Gak mudah memang. Tapi sekadar mengingatkan kembali bahwa dalam posisi apapun hadirkan iman.
Dengan “pencampuradukan” pemahaman baik dan buruk dengan benar dan salah inilah para liberalis mencoba menggiring awam untuk percaya bahwa tidak ada kebenaran mutlak. Dan ujung-ujungnya kebenaran Al Quran pun mereka pertanyakan.
Padahal…
Yang mereka dan kita bicarakan itu tentang baik dan buruk, bukan tentang benar dan salah. Kebenaran Allah itu mutlak, yang berubah adalah pandangan manusia terhadap-Nya.
Maka…
Hukum Allah itu berlaku sejak bumi diciptakan sampai akhir zaman. Lihatlah bagaimana bumi berputar sembari mengelilingi matahari, yang mereka sebut hukum alam. Padahal jelas alam itu ciptaan bukan pencipta, alam tidak punya hukum tapi Allah sang pemilik hukum.
Adapun kejadian tentang baik dan buruk tidak bisa kita sandarkan atas nama Allah. Karena itu hasil ulah dan olah fikir manusia.
Apa yang salah itu dari kita manusia, apa yang benar itu dari Allah azza wajjala.
Wallahua’lam bissawab.
✍ Education For All