PEMBIAYAAN MUDHARABAH, BUKAN (tidak sama dengan) MUDHARABAH

0
1484

https://www.youtube.com/watch?v=UVYFzDbXSQE
By Budi S. Purnomo, Warga KSW #01 Leaders
Dosen Prodi. Akuntansi FPEB dan Sekretaris Komite Audit UPI
WA KSW 0811-113-139

Serangkaian Aksi Bela Islam yang berlangsung damai, memicu kesadaran umat Islam untuk bisa bangkit mengembalikan kekuatan ekonominya. Salah satu bentuknya adalah maraknya usaha-usaha umat di bidang ritel, fashion, koperasi, bahkan property berlabel syariah.

Perkembangan menggembirakan ini tentu membutuhkan dukungan pendanaan yang tidak hanya memadai, juga harus bebas dari riba yang merupakan dosa besar. Untuk itu, salah satu sumber pendanaan yang banyak diharapkan umat adalah Bank Syariah (BS).

Diantara produk BS yang dianggap sesuai untuk mendanai pengembangan usaha adalah Pembiayaan Mudharabah. Pertanyaannya, apakah pembiayaan mudharabah telah sesuai dengan syariah Islam dan bisa menjadi solusi bagi pelaku usaha yang membutuhkan dana tanpa harus menanggung riba?

Mudharabah adalah bentuk kerjasama usaha (syirkah) antara pemilik modal (shahibul maal) dengan pengelola usaha (mudharib). Secara fiqh, pemilik modal menyerahkan modalnya untuk dikelola secara penuh oleh mudharib untuk dikelola dalam usahanya, sedangkan keuntungannya dibagi berdasarkan nisbah yang disepakati. Oleh karenanya, mudharabah hanya bisa terjadi jika terdapat: pelaku yaitu pemodal dan mudharib; obyek berupa modal yang ditanamkan dan kerjasama yang dilakukan, serta ijab kabul diantara para pelakunya. Uang atau barang yang diserahkan shahibul maal kepada mudharib merupakan modal, bukan pinjaman/hutang. Konsekuensinya, shahibul maal harus menanggung risiko atas kerja sama yang dilakukan. Bila merugi, maka modal shahibul maal akan berkurang senilai kerugian usaha. Sebaliknya, laba yang diperoleh akan menambah modal shahibul maal.

Dalam perspektif manajemen keuangan, entitas bisnis menanggung kewajiban yang berbeda atas dana yang bersumber dari pemiliknya (modal) dengan dana berupa pinjaman/hutang dari kreditur. Bagaimanapun hasil usahanya, maka pengelola wajib mengembalikan hutangnya plus bunganya (jika ada). Sebaliknya, selama usaha masih dijalankan modal tidak pernah harus dikembalikan. Bahkan, saat mengalami kerugian nilai modal pemilik akan tergerus, dan modal akan bertambah saat laba diraih. Dengan demikian, modal menanggung risiko kerugian dari aktivitas bisnis normal, sedangkan pinjaman tidak.

Perbedaan risiko mengakibatkan imbal hasil yang diterima modal berbeda dengan pinjaman. Secara konvensional, selain berhak menerima kembali dana yang dipinjamkannya, Kreditur berhak menerima bunga sebagai imbalannya, tanpa dipengaruhi oleh keuntungan atau kerugian yang dialami perusahaan. Adapun imbal hasil bagi Pemodal akan tergantung kepada laba/rugi yang dicapai perusahaan.

Berdasarkan kaidah fiqih, dana yang ditanamkan sebagai modal berhak memperoleh pembagian keuntungan sesuai dengan nisbah yang disepakati, dengan konsekuensi harus menanggung risiko finansial jika terjadi kerugian. Sedangkan pinjaman/hutang, tidak boleh menanggung risiko usaha, sehingga apapun yang terjadi berhak menerima pengembalian atas dananya, namun tidak diperkenankan menerima imbalan dalam bentuk apapun, karena dapat dikategorikan sebagai riba.

Pada UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, BS pada dasarnya dilarang melakukan penyertaan modal kecuali yang bersifat sementara untuk mengatasi akibat kegagalan Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah. Jika bank syariah terpaksa melakukan penyertaan modal, maka penyertaan ini harus sesegera mungkin ditarik kembali. Hal ini mengindikasikan bahwa dana yang disalurkan BS pada dasarnya bukan merupakan modal/penyertaan sebagaimana yang disyaratkan dalam aqad mudharabah, tetapi berupa Pembiayaan (Pinjaman) yang merupakan hutang bagi nasabah. Pinjaman ini baru boleh dikonversi sebagai Penyertaan Modal pada saat nasabah mengalami kesulitan/gagal untuk membayarnya, itu pun harus harus sesegera mungkin ditarik kembali.

Adapun yang dimaksud dengan Pembiayaan menurut UU Perbankan Syariah, adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil. Dari definisi tersebut jelaslah bahwa Pembiayaan pada dasarnya merupakan piutang bagi bank syariah, dan hutang bagi nasabah yang menerima fasilitas tersebut.

Indikasi lain bahwa Pembiayaan Mudharabah bukanlah Penyertaan modal bisa dilihat pada laporan keuangan BS. Secara akuntansi, dana yang ditanamkan sebagai modal pada badan usaha lain harus dilaporkan sebagai Penyertaan yang merupakan bagian dari investasi. Faktanya, BS justru melaporkan Pembiayaan Mudharabah sebagai Piutang Pembiayaan Mudharabah yang merupakan bagian dari piutang. Dengan demikian untuk Pembiayaan dengan aqad mudharabah, BS hanya berperan sebagai Kreditur, bukan Pemodal!

Praktek BS ini menunjukkan bahwa Pembiayaan berdasarkan aqad mudharabah, sesungguhnya bukan syirkah dengan aqad mudharabah, karena tidak adanya unsur modal yang merupakan salah satu syarat dari aqad mudharabah. Padahal, Dewan Syariah (DSN) MUI melalui fatwa No. 07/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh) telah mensyaratkan adanya unsur modal dalam aqad ini.

Karena dana yang disalurkan BS merupakan pinjaman, maka bank syariah tidak memiliki kewajiban untuk menanggung risiko kerugian usaha. Sementara fatwa DSN MUI telah menetapkan bahwa Lembaga Keuangan Syariah (LKS) sebagai penyedia dana (harus) menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah dan tidak boleh ada ganti rugi, karena pada dasarnya akad ini bersifat amanah (yad al-amanah), kecuali akibat dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan oleh mudharib (nasabah). Hal ini kemudian ditegaskan kembali melalui fatwa DSN MUI No. 105/DSN-MUI/X/2016 yang menetapkan Pengelola (mudharib) tidak wajib mengembalikan modal usaha secara penuh pada saat terjadi kerugian, kecuali kerugian karena ta ‘addi, tafrith atau mukhalafat al-syuruth, dan Pemilik Modal tidak boleh meminta Pengelola untuk menjamin pengembalian modal.

========== DARI ADMIN
Anda seorang pebisnis? Ingin bergabung dengan pebisnis lain yang sholih(ah)? Silakan kirim WA ke 0811-113-139 untuk menjadi Warga KSW, grup WA untuk pengusaha yang berkomitmen mengembangkan harta halal dan barokah
DARI ADMIN ==========

Keengganan Bank Syariah untuk bertindak sebagai Pemodal sesungguhnya merupakan konsekuensi dari keterikatannya kepada UU Perbankan Syariah. Tidak berbeda jauh dengan layanan bank konvensional pada umumnya, UU ini menetapkan kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh BS terbatas pada: menghimpun dana, menyalurkan Pembiayaan (bukan modal), melakukan pengambilalihan utang, melakukan transaksi valas, melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu Pembiayaan (kredit), memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi, dan berbagai layanan perbankan lain sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Regulasi ini hanya membolehkan bank syariah (sebagaimana layaknya bank konvensional) untuk masuk ke sektor riil sebagai pemberi pinjaman, bukan sebagai Pemodal! Hal ini tentu saja sejalan dengan definisi Bank Syariah sebagaimana ditetapkan dalam UU yang sama, yaitu sebagai badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk Simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk lainnya, berdasarkan Prinsip Syariah.

Yang perlu dicermati oleh masyarakat adalah, pertama dengan tidak adanya unsur modal, lantas apakah transaksi yang terjadi antara nasabah dengan BS masih dapat dikatakan sebagai syirkah dengan aqad mudharabah? Atau sesungguhnya perikatan tersebut memang bukan aqad mudharabah, melainkan Pembiayaan berdasarkan mudharabah seperti yang ditawarkan kebanyakan BS, sesuai ketentuan UU Perbankan Syariah?
Kedua, jika dana yang disalurkan bukan merupakan modal melainkan pembiayaan yang pada dasarnya hutang, maka apakah imbal hasil yang dibayarkan kepada BS masih dapat dikategorikan sebagai bagi hasil atau justru merupakan riba yang seharusnya dihindari?

BaarakALLAAHu lana wa lakum jamiiā€™an..

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here