Jika Imam Syafi’i rahimahullah merasa mendapat bencana saat melihat betis seorang gadis yang tak sengaja tersingkap. Aku malah merasa mendapat nikmat meski tak diungkap.
Jika Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu menginfakkan kebun yang membuatnya ketinggalan shalat Ashar. Aku malah biasa saja, berulang kali tertinggal meski azan terdengar berkumandang.
Jika Urwah bin Zubair Radhiyallahu ‘anhu tak terganggu salatnya saat pisau mengamputasi kaki. Aku bahkan terganggu, hanya karena nyamuk yang menggigit ibu jari.
Jika Nabi Ibrahim AS sangat menyesal karena pernah berbohong meski seumur hidup hanya tiga kali. Aku malah santai saja, meski jumlah dustaku sudah tak terhitung lagi.
Jika ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha menyesal mengatakan “Shafiyah Si Pendek” yang bisa mengubah warna lautan. Lalu bagaimana dengan gunjingan dari mulutku? Mungkin bisa membuat seluruh samudra menjadi legam dan pekat kehitaman.
Jika Umar bin Abdul Azis Radhiyallahu ‘anhu bergetar menahan istrinya berbicara di ruangan yang diterangi pelita minyak yang dibiayai negara. Aku malah keasyikkan menggunakan fasilitas negara dan atau perusahaan, seakan milikku saja.
Jika serpihan pagar kayu rumah orang yang dijadikan tusuk gigi bisa membuat “Sang Kyai” tertahan untuk masuk surga. Aku malah enak saja menikmati mangga hasil jarahan kebun tetangga.
Sudah begitu … pede pula meminta masuk surga. Astaghfirullah!
Memang hari ini dunialah yang nyata, dan akhirat hanya cerita. Namun sesudah mati, akhiratlah yang nyata dan dunia tinggal cerita.
Ada pesan nabi SAW, “Perbanyaklah mengingat kematian maka kamu akan terhibur dari (kelelahan) dunia, dan hendaklah kamu bersyukur. Sesungguhnya bersyukur akan menambah kenikmatan Allah, dan perbanyaklah doa. Sesungguhnya kamu tidak mengetahui kapan doamu akan terkabul.” (HR. Ath-Thabrani)
Ya Allah, ampunilah hamba dan jauhkan hamba dari sifat munafiq, hubbudunya, dan dari penyakit hati..
آمِــــــــــيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِــــــــــيْنَ