©MAG
Masih seri per-anjing-an.
Saudarakua sahabat seiman. Sebelum kasus wanita tua yang melepas anjingnya di masjid Al Munawwarah, Sentul, Bogor kemarin, sejatinya sudah ada cerita “aneh” tentang binatang itu di wilayah Jawa Tengah, tepatnya di Soloraya. Topik ini menjadi pembahasan menarik di beberapa surat kabar mainstream local, namun yang paling ramai tentu saja di jagad media social.
Silang pendapat muncul dipicu berita berjudul “Penertiban oleh Pemkab Karanganyar kepada penjual masakan olahan berbahan baku daging Anjing sedang ramai di gunjingkan”. Kami menemukan topic itu menjadi judul Radar Solo, 25/6.
Rencana penutupan warung “sengsu” itu didukung mayoritas pemerhati perlindungan hewan dan tokoh alim ulama di Karanganyar. Upaya ini dianggap sangat baik dan diapresiasi sebagai langkah kesuksesan.
Dari sisi peri kehewanan, para pecinta dan pemelihara anjing sangat senang bila anjing tidak digunakan sebagai komoditi makan manusia. Mengonsumsi daging binatang ini, dianggap sebagai tindakan melampaui batas dari fungsi anjing sebagai hewan peliharaan yang perlu dilindungi.
Respon senada dengan alasan berbeda, kalangan alim ulama memberikan apresiasi sebagai wujud “menghindari keharaman dan ke-tidak peri-kehewanan. Toh masih banyak bahan makanan halal yang bisa diolah menjadi makanan baik dan sehat.”
Akan tetapi, jajaran Pemerintah Kota Solo, dalam hal ini yang dipimpin oleh Walikota Solo, memberikan respon berbeda. “Karena di Solo banyak yang menggantungkan hidup dari berjualan daging anjing, maka tidak perlu ada regulasi jelas untuk penutupan. Penutupan juga tidak manusiawi bila hanya sepihak dari pemkot,” ujar Walikota yang kita tahu pendukung rezim siapa.
Manusiawi? Kata itu terdengar tidak relevan dengan alasan apapun. Orang normal saja, bukan Cuma Muslim, kecenderungannya tidak akan tega makan daging binatang yang biasa diperlihara. Anjing bukan bahan baku makanan.
Karena itu tidak heran jika muncul berbagai praduga. Apakah para penjual daging anjing itu telah menjalin janji kontrak politik dengan sang penguasa? Apakah kontrak itu berhubungan dengan kepentingan dukung mendukung salah satu calon pemimpin nasional?
Hmmm..meski arah angin menunjukkan sumber aroma busuk itu, kita tidak perlu main tebak-tebakan.
Mari kita renungkan saja, kapan ummat ini dipimpin orang yang bersedia mengambil syariat sebagai landasan menentukan kebijakan? Apakah kita akan terus-menerus mengikuti pemimpin yang menjadikan dan mendahulukan nafsu binatang sebagai landasan kebijakan?
Semoga kita semua tergugah dengan curahan hati ini.