Aku Ingin Mengambil 5% Harta Semua Orang di Seluruh Dunia

0
724

Part #1
Diadaptasi dari Buku karya Larry Hannigan “Masa Lalu Uang dan Masa Depan Dunia” (1971).
Sedikit modifikasi demi mempermudah pemahaman.

Febian bahagia, karena mimpi menjadi kaya akan segera terwujud. Dia bosan dengan pekerjaan menjadi pengrajin cincin dan pehiasan dari emas. Dia lelah bekerja keras. Dan besok pagi dia akan memulai rencananya dengan berpidato di depan pasar.

Esok harinya febian mulai berceloteh. Dia mulai dengan cerita yang semua orang sudah tahu.

“Puluhan generasi kita hidup dengan memproduksi apa yang kita bituhkan. Atau menukar kelebihan produksi kita dengan barang lain yang kita butuh hasil produksi orang lain. Kita menyebutnya barter.” Antusias Febian membuka cerita.

“Ekhem” dehemnya seperti hendak melanjutkan cerita. “Setiap hari pasar ramai. Semua orang antusia. Namun beberapa tahun terakhir, antusiasme itu mulai berubah. Orang semakin banyak, keributan mulai sering terjadi.” Ia berhenti sejenak.

Kasak kusuk mulai terdengar. Suara Febian kembali menenangkan kasak kusuk. “Setiap masyarakat selalu memiliki Pemerintahan, apapun bentuknya. Tujuan pemerintahan adalah menjaga hak tiap warga terpenuhi, agar tak seorangpun melakukan apa yang tak dia ingini. Namun satu yang tak bisa Pemerintah selesaikan. Masalah pada perdagangan barter.”

Suasana semakin riuh. Mereka berbisik satu sama lain. Seperti mengamini kalimat Febian.

Febian meneruskan orasinya dengan cukup menggebu, “masalah yang tak bisa diselesaikan pemerintah adalah apakah sebuah lemari setara dengan 1 kerbau? Apakah 1 ayam setara dengan setandan pisang? Jika sudah setara, apakah si tukang lemari butuh kerbau? Bagaimana jika dia butuh ayam? Berapa ayam yang setara dengan lemari? Tapi apakah peternak ayam butuh lemari? Ternyata dia butuh Padi. Begitu seterusnya. Berputar-putar tak jelas ujung pangkalnya.” Febian menarik nafas menjeda orasinya yang menggebu itu.

Masyarakat mulai terbawa emosi Febian. “Kita semua butuh sistem yang baru.” Febian mulai mengiklankan diri.

“Aku punya solusinya. Apa kalian ingin mendengarnya?” tak ada yang mejawab tidak.

“Namun, aku ingin solusi ini dinikmati lebih banyak orang. Jika mungkin semua orang. Maka, ajaklah lebih banyak orang untuk berkumpul di sini lagi besok.” Febian turun dari tempatnya berorasi. Dia pergi dengan gaya orang paling ditunggu kehadirannya. Namun di sudut pasar ada mata yg memandangnya penuh selidik. Pemilik mata itu sedang berpikir tentang apa yang akan ia dengarkan lagi besok.

Esoknya, masyarakat berkerumun di depan pasar memenuhi alun-alun kota. Beberapa orang berinisiatif membuat podium yang cukup tinggi tempat Febian berorasi. Semua menunggu. Sorak sorai mulai terdengar, Febian berjalan dari kejauhan. Hanya satu yang tak bersorak. Ia menyelidik seperti kemarin. Dengan tubuh kurusnya ia bertengger di pohon beringin.

Pertanyaan pembuka dilontarkan Febian, “kalian semua tahu, apa profesiku? Ya, pengrajin Emas. Peternak ayam mungkin menolak lemari, tukang lemari menolak kerbau. Tapi apakah ada yang menolak emas?”

Semua diam dan hanya gelengan perlahan yang masyarakat lakukan. “Ya, tak ada yang menolak emas. Semua tahu, emas logam berharga, tidak berkarat, tahan lama, indah, dan nilai lebih lainnya. Jadi, apakah logis jika semua akan menerima pertukaran emas dengan apa saja? Apakah logis, jika emas yang menjadi alat ukur dari nilai barang? Ini sistem yang lebih baik dari barter.”

Si Kurus berpikir, seperti ia paling pintar saja. Padahal semua orang berpikir hal yang sama, “benar juga argumen itu. Cukup logis.”

Sejenak Febian menikmati keheningan. “Apa kalian bertanya-tanya, bagaimana kalian bisa mendapatkan emas untuk berjual-beli? Mari kita sepakati solusi ini. Aku akan membuat koin emas, dan kalian bisa mendapatkannya dengan meminjamnya padaku. Dan sebut saja koin itu uang. Apa kalian mengerti?”

Suara dari pohon terdengar. Si kurus unjuk bicara. “Lalu apa yang kau dapatkan. Tak mungkin kau bekerja membuat banyak koin tanpa keuntungan bukan?”

Semua orang kenal si kurus itu. Namun tak ada yang menyangka dia bisa berbicara begitu serius. Bertolak belakang dengan tingkahnya sehari-hari yang kocak dan konyol.

“Karena aku yang menyediakan jasa ini, maka aku berhak mendapatkan bayaran dari kerja kerasku. Untuk setiap 100 koin yang Anda dapatkan dari saya, Anda akan membayarkan kembali kepadaku sebanyak 105 koin tahun depannya. 5 koin ini adalah bayaranku, dan aku akan menyebutnya bunga.”

Dalam pikirannya si Kurus bertanya. Mengapa namanya harus “bunga”?

5% sepertinya tidak banyak. Maka orang-orang pun setuju. Mereka sepakat untuk bertemu seminggu kemudian dan memulai sistem baru ini.

Febian membuat koin emas siang dan malam, dan seminggu kemudian dia siap dengan koinnya. Orang-orang antri panjang. Sebagian orang hanya meminjam sedikit koin, setelah itu mereka segera pergi ke pasar mencoba sistem baru ini.

Masyarakat segera menyadari sisi baik dari sistem ini, dan mulai menilai harga dengan koin emas. Orang-orang memberikan harga pada dagangannya sesuai dengan usaha untuk memproduksi barang. Barang yang mudah diproduksi harganya rendah, dan barang yang sulit diproduksi harganya mahal.

Paijo, Pengrajin Dompet Kulit Ikan Pari satu-satunya di kota. Dompetnya sangatlah mahal, tetapi orang-orang bersedia membayar untuk mendapatkan Dompet mewah yang dia buat. Kemudian ada orang lain yang juga mulai membuat dompet dan menjualnya dengan harga yang lebih murah. Paijo pun terpaksa menurunkan harga. Kedua orang ini bersaing memproduksi Dompet dengan kualitas terbaik dengan harga yang lebih murah. Inilah asal mula dari kompetisi.

Hal yang sama terjadi pada kategori industri yang lain. Pelanggan memilih transaksi yang paling menguntungkan. Dan semua orang berlomba mendapatkan uang. Tak bisa lagi masyarakat membayangkan hidup tanpa uang.

Setahun kemudian, si Kurus mulai menemui banyak orang galau. Pak Lik Paijo sekarang emosional, suka marah sendiri.

Si Kurus bertanya, “kenapa to Lik. Kok sepertinya galau gitu?”

“Iya ini Di, udah setahun, koinku malah berkurang. Padahal Febian mau nagih semua pinjaman.” Paijo curcol pada Mukidi.

Istri Paijo sewot dari dalam rumah. “Makanya bisnis yang serius. Masa kalah sama pengrajin dompet yang masih bau kencur.”

Mukidi yakin, Dompet Lik Pqijo yang terbaik. Tapi persaingan mulai panas. Pelanggan terlalu berpikir tentang uang. Dan mulai hanya berpikir tentang harga murah.

Mukidi mulai berpikir. Bukan hanya disitu masalahnya.

Fabian mulai mendatangi orang-orang yang berhutang kepadanya. Orang-orang tertentu memiliki koin emas lebih dari yang mereka pinjam, sehingga mudah melunasi hutangnya.

Mukidi mulai menyadari sesuatu. Jumlah koin yang dibuat terbatas dan tidak bertambah jumlahnya. “Namun, mengapa Febian meminta tambahan jumlah pengembalian hutang yang dia berikan? Jika semua orang mengembalikan pokok hutang mereka pun, mustahil 5% tambahannya terbayarkan. Karena 5% itu tak pernah ada.”

Orang-orang yang memiliki koin lebih membayar kepada Fabian dan juga 5% bunganya, lalu meminjam lagi untuk melanjutkan sistem perdagangan di tahun mendatang. Mereka tak lagi bisa hidup tanpa uang. Meski sesungguhnya mereka hanya butuh kenyang. Cukup dipenuhi dari kebun belakang rumah.

Banyak yang resah meski padi di sawah berlimpah, singkong di kebun ada. Makan tercukupi, dan rumah nyaman. Mereka resah kalau tak punya uang, apa lagi jika tak bisa membayar hutang. Seketika banyak yang merasa miskin dikelilingi alam yang melimpah.

Semakin banyak yang kecanduan hutang, semakin mustahil hutang itu terbayarkan. Nominal dari 5% hutang itu semakin bertambah, sedang 5% itu tak pernah ada. Namun tak ada yang menyadarinya.

Saat ada yang tak bisa membayar, Febian pun meminta tebusan dengan barang lain yang dia inginkan, ada yang membayar kekurangannya dengan beberapa meter tanah pekarangannya, ada yang memberikan beberapa karung hasil panennya. Dan lain sebagainya. Merela yang bernasib malang kehilangan uang dan sebagian hartanya.

Mereka yang tak punya apa-apa hanya bisa pasrah menjadi budak Febian. Disuruh menagih hutang tanpa bayaran, menggarap lahan hasil sitaan, menjualkan barang hasil sitaan, dan lain sebagainya.

Dari merasa miskin mereka mulai benar-benar miskin. Dan Febian mulai benar-benar kaya.

Mukidi bertanya dalam hati, “jika Febian ingin punya lahan dan harta lainnya, mengapa tak dari awal membelinya? Dia kan punya emas untuk membelinya.”

“Ting” pemahaman masuk di kepala Mukidi belia. Ia tahu sekarang, bahwa Febian ingin mendapat segalanya tanpa kehilangan apapun. Koinnya akan kembali, dan harta yang lain mengikuti.

Meski demikian, orang-orang tak mau berhenti berhutang. Mereka tak bisa lagi membeli tanpa membayar dengan uang.

Fabian merasa rencananya berhasil. Dia mensyaratkan jaminan atas setiap pinjaman dengan alasan banyak yang tidak bisa mengembalikan hutangnya. Jadi perlu jaminan untuk membuatnya merasa aman meminjami masyarakat uang. Dan nilai jaminan selalu dipatok lebih besar dari yang dia pinjamkan.

Mukidi mulai geregetan dengan ulah Febian. .ukidi sadar, “jika ada yang bisa membayar hutang beserta bunga 5%, maka ada yang kehilangan 5%.

Mukidi menerka, “aku tahu mengapa namanya bunga, sebenarnya namanya buah, artinya pinjaman yang diberikan berbuah hasil lebih banyak. Namun jika namanya Buah, niat busuknya akan ketahuan. Maka dinamailah bunga. Ya aku yakin gitu ceritanya.”

Akhirnya, pemikiran Mukidi yang begitu mendalam, berbuah kesimpulan yang begitu dangkal.

Diadaptasi dan dimodifikasi oleh @lidoderio

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here